Koropak.co.id – Mari kita mulai perkenalan kembali dengan warisan budaya ribuan tahun yang kini semakin disukai dengan cara yang sederhana, yaitu melalui pakaian yang kita kenakan.
Saat ini, kita dapat merasakan kesenangan yang lebih ketika melihat generasi muda dengan bangga mengenakan jenama lokal sebagai pilihan fashion mereka. Cara berdandan dengan bangga menggunakan kain-kain Nusantara biasanya disebut sebagai wastra, yang menjadi langkah positif dalam perkembangan budaya.
Pengenalan kebudayaan yang fleksibel dan santai dapat ditemukan di generasi muda yang seringkali memamerkan gaya berpakaian khas dengan sentuhan Nusantara di dunia maya. Bahkan, di berbagai festival, kita sering melihat anak muda dengan pakaian modern yang memiliki nuansa ‘artsy’.
Beragam aksen kain Nusantara yang digunakan pun sangat bervariasi, mulai dari batik hingga tenun. Keberagaman ini merupakan kekayaan yang patut disyukuri karena ada ratusan jenis kain dan motif yang tersebar di seluruh Nusantara.
Mari kita kenali salah satu dari ratusan jenis kain dan motifnya, yaitu lurik, kain khas dari Yogyakarta. Jika kita mengunjungi Malioboro atau Keraton Yogyakarta, kita pasti akan melihat para abdi dalem atau kusir andong mengenakan pakaian ini.
Lurik berasal dari bahasa Jawa “lorek”, yang berarti garis-garis, mencerminkan sederhananya. Kain tenun lurik umumnya memiliki tiga motif dasar, yaitu motif lajuran dengan garis-garis panjang sejajar dengan kain, motif pakan malang dengan garis lebar, dan motif cacahan dengan corak kecil-kecil.
Baca: Kisah Elegan Abdi Dalem Estri: Busana dan Tradisi di Keraton Jogja
Tenun lurik sudah ada sejak 3000 tahun yang lalu dan terus beregenerasi hingga saat ini. Salah satu industri yang menghasilkan tenun lurik secara turun temurun adalah Tenun Lurik Kurnia.
Mereka menggunakan alat tenun manual dari kayu dan melakukan semua proses produksi secara manual, mulai dari pewarnaan benang hingga penenunan kain.
Meskipun pekerja di industri ini rata-rata lansia, namun cara kerja mereka mirip dengan anak muda zaman sekarang. Mereka memiliki motto “Saya akan bekerja sebaik-baiknya” dan bekerja sebagai pekerja lepas dengan jam kerja yang fleksibel.
Proses pembuatan kain tenun lurik ini mencerminkan prinsip slow fashion, di mana semua proses dilakukan secara hati-hati dan tidak tergesa-gesa. Kini, semakin banyak orang yang bangga mengenakan busana dengan aksen Nusantara daripada busana merek terkenal.
Anak muda kini percaya diri dengan identitas lokal dan menciptakan gaya yang artsy dan edgy dengan memadukan tradisi dengan tren modern.
Baca juga: Jogja Cultural Wellness Festival 2023: Merayakan Kearifan Budaya dalam Kesejahteraan