Koropak.co.id – Tumbilotohe merupakan sebuah upacara yang penuh dengan tradisi dan makna yang mendalam, terutama bagi masyarakat Gorontalo.
Kalimat yang sering dilantunkan oleh anak-anak saat prosesi pemasangan lampu tumbilotohe, “Tumbilo tohe, pateya tohe…ta mohile jakati bubohe lo popatii…”, menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual yang dilakukan menjelang akhir bulan Ramadan.
Awalnya, kata “tumbilo” yang berarti “pasang” dan “tohe” yang berarti “lampu” memberikan gambaran akan esensi dari acara tersebut.
Tumbilotohe menjadi ciri khas yang melekat pada budaya Gorontalo, dimulai sejak abad ke-15 sebagai sebuah upacara untuk memberikan penerangan kepada umat Islam yang hendak memberikan zakat fitrah pada malam hari di bulan Ramadan.
Pada masa lalu, penerangan utama diperoleh dari sumber alam seperti damar dan getah pohon yang dapat menyala dalam waktu yang cukup lama. Damar tersebut awalnya dibungkus dengan janur dan ditempatkan di atas kayu.
Seiring dengan perjalanan waktu, penggunaan damar mulai berkurang dan digantikan oleh minyak kelapa, yang kemudian juga digantikan oleh minyak tanah.
Meskipun zaman terus berubah, tradisi tumbilotohe tetap terpelihara. Sebagian masyarakat Gorontalo memilih untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional dengan menggunakan lampu-lampu minyak tanah.
Lampu-lampu ini biasanya digantungkan pada kerangka kayu yang dihiasi dengan janur kuning, menciptakan suasana yang khas dan memikat.
Baca: Keunikan Tradisi Walima, Peringatan Maulid Nabi di Gorontalo
Saat malam menjelang, Kota Gorontalo bercahaya dengan gemerlapnya lampu-lampu botol yang tidak hanya menerangi halaman rumah, kantor, dan masjid, tetapi juga menghiasi lahan kosong, petak sawah, bahkan lapangan sepak bola.
Formasi lampu-lampu botol ini dapat beragam, seperti replika bangunan masjid, Al-Quran, kaligrafi, dan lainnya, memberikan cahaya yang memukau dan keindahan tersendiri bagi kota tersebut.
Selain lampu-lampu botol, terdapat juga elemen-elemen lain yang menjadi bagian dari tradisi tumbilotohe, seperti kerangka pintu gerbang yang disebut “alikusu”, meriam bambu yang disebut “bunggo”, lampion bambu yang disebut “landera”, dan obor yang disebut “moronggo”.
Semua ini merupakan simbol-simbol dari keberagaman dan kekayaan budaya Gorontalo. Tradisi tumbilotohe bukan hanya menjadi magnet bagi penduduk setempat, tetapi juga bagi wisatawan yang datang dari luar kota, bahkan luar Pulau Sulawesi.
Bagi mereka yang ingin menyaksikan keindahan dan keunikan tradisi ini, tersedia berbagai jalur transportasi meliputi darat, laut, dan udara yang memudahkan akses menuju Kota Gorontalo.
Dengan keberadaan dua pelabuhan dan sebuah bandara di sekitar wilayah Gorontalo, para pengunjung dapat memilih jalur transportasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dengan demikian, tradisi tumbilotohe tidak hanya menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Gorontalo, tetapi juga menjadi daya tarik bagi para pengunjung yang ingin merasakan keajaiban dan keindahan tradisi yang kaya akan makna dan sejarah ini.
Baca juga: Lantunan Me’eraji dalam Menyambut Isra Miraj Masyarakat Muslim Gorontalo