Koropak.co.id – Masyarakat Sangir, penduduk asli Kepulauan Sangihe, dikenal dengan nilai-nilai sosialnya yang tinggi, yang terwujud dalam berbagai tradisi, termasuk kuliner mereka. Salah satu kuliner adat yang menonjol adalah kue tamo.
Kue ini, hasil perpaduan beras, kelapa, dan gula aren, bukan hanya sekadar hidangan, tetapi simbol kerukunan dan kebersamaan dalam masyarakat Sangir.
Menurut penuturan Tetua Adat Kampung Bentung, Anwar Tatali, kue tamo memegang peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat Sangir. Dalam bahasa Sangir, kue ini dikenal sebagai Maka Sembau Komorang, yang berarti simbol kebersamaan.
Kue tamo berfungsi sebagai jamuan makanan tradisional atau Salimangu Kawanua dalam berbagai upacara adat, seperti pernikahan dan tradisi tulude.
Nama “tamo” merupakan singkatan dari beberapa kata dalam bahasa Sangir: “tundu” yang berarti kebiasaan atau adat budaya, “aha” yang berarti ajaran atau panduan, “mehengkeng nusa” yang berarti pemimpin atau petuah, dan “onto” yang berarti tanaman yang ditanam atau warisan.
Secara keseluruhan, kata “tamo” mencerminkan kue adat yang diwariskan oleh leluhur dan dibuat secara turun-temurun. Menurut Anwar Tatali, kue tamo pertama kali diperkenalkan dalam upacara pernikahan leluhur masyarakat Sangir.
Baca: Jejak Kue Singgang dalam Kuliner Ranah Minang
Kue ini dibuat dengan cara tradisional, menggunakan bahan-bahan seperti beras, ketan, atau umbi-umbian seperti talas yang dicampur dengan kelapa muda dan gula merah. Adonan ini dimasak selama sekitar tiga jam, kemudian dicetak dalam bentuk kerucut dan didiamkan selama dua hari di wadah khusus.
Proses pembuatan kue tamo dimulai dengan merkaryo maneng, yaitu doa untuk memohon berkah. Ada aturan khusus dalam pembuatan kue ini, seperti jika pembuatan dilakukan oleh perempuan, maka harus diteruskan oleh perempuan, dan sebaliknya untuk laki-laki. Selain itu, adonan harus diaduk dengan arah tertentu.
Dalam penyajiannya, kue tamo dihias dengan bendera dan telur di bagian pucuk sebagai simbol kesuksesan dan kenyamanan. Bagian bawahnya dihiasi dengan hasil bumi dari sektor pertanian dan perikanan, melambangkan kebersamaan antara petani dan nelayan.
Saat digunakan dalam upacara adat, kue tamo dibawa dalam iring-iringan yang disertai dengan musik tagonggong dan tarian gunde. Kue ini ditempatkan di tempat strategis dan dipotong dengan aturan tertentu sebelum dibagikan kepada seluruh masyarakat.
Pelestarian kue tamo menjadi bagian penting dari upaya menjaga warisan adat. Dewan Adat Kabupaten Kepulauan Sangihe bahkan telah mengadakan kompetisi pemotongan kue tamo untuk memastikan bahwa tradisi ini tetap hidup dan dihargai oleh generasi mendatang.
Baca juga: Sejarah dan Keunikan Kue Pepe Betawi