Koropak.co.id – Kompleks pemakaman raja di Dusun Pekuncen, Desa Pasaeran, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, dikenal dengan nama Tegal Arum. Terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk, makam ini memiliki lokasi yang cukup unik dan berbeda dari kebanyakan pemakaman kuno.
Dari fasilitas umum yang mengelilinginya, seperti sekolah dasar dan kantor kelurahan, hingga fasilitas di dalam kompleks makam itu sendiri, Tegal Arum mencerminkan sebuah campuran antara kehidupan sehari-hari dan sakralitas.
Di area ini terdapat masjid, pondok pesantren, madrasah, gudang, dan rumah penduduk yang menciptakan suasana kehidupan yang kontras dengan sejarah yang ada di tempat ini. Makam ini berbatasan langsung dengan jalan kampung yang dilalui kendaraan dan penduduk setempat setiap hari.
Namun, di balik aktivitas sehari-hari tersebut, tersembunyi tempat bersejarah yang menyimpan jasad Sri Susuhunan Amangkurat Agung, atau yang dikenal sebagai Amangkurat I, seorang Raja Kerajaan Mataram Islam.
Amangkurat I memerintah Kesultanan Mataram dari tahun 1649 hingga 1677. Sebagai anak dari Sultan Agung Hanyokrokusumo, Amangkurat I memiliki dua permaisuri yang masing-masing melahirkan calon penerus yang akan memainkan peran penting dalam sejarah Mataram.
Baca: Kesultanan Mataram Serang Batavia, Kenapa Gagal?
Permaisuri pertama, Ratu Kulon dari Surabaya, melahirkan Raden Mas Rahmat yang kemudian dikenal sebagai Amangkurat II. Permaisuri kedua, Ratu Kulon dari Kajoran, melahirkan Raden Mas Drajat yang menjadi Raja Keraton Surakarta Hadiningrat dengan gelar Pakubuwono I.
Pada 2 Juli 1677, Amangkurat I terpaksa melarikan diri dari istana akibat serangan Raden Trunajaya dari Madura. Dia mencari perlindungan di Batavia namun jatuh sakit dan meninggal pada 13 Juli di Desa Wanayasa.
Sebelum wafat, Amangkurat I mewasiatkan agar dimakamkan di dekat makam gurunya di Tegal Arum dan meminta bantuan VOC untuk merebut kembali tahta.
Makam Tegal Arum, yang sering disebut juga Tegal Wangi karena harum bunga kantil dan kamboja yang tumbuh di sekitarnya, merupakan tempat yang kerap dikunjungi peziarah.
Banyak yang datang untuk belajar tentang sejarah Amangkurat I atau untuk melakukan ritual ngalap berkah. Meski tidak ada biaya masuk, pengelola menerima sumbangan seikhlasnya dari para peziarah. Ketika tidak ada pengunjung, suasana makam menjadi tenang dan sepi, menambah aura sakral tempat ini.
Baca juga: Perjanjian Salatiga dan Berakhirnya Kekuasaan Mataram Islam di Pulau Jawa