Koropak.co.id – Pada tahun 1862, Henry Dunant menerbitkan sebuah buku berjudul Memory of Solferino (Kenangan Solferino), yang menggambarkan kengerian perang dengan begitu mendalam.
Pengalaman pribadi Dunant saat menyaksikan kekejaman pertempuran di Solferino menginspirasi lahirnya dua gagasan revolusioner yang akan mengubah wajah kemanusiaan dan hukum perang di dunia.
Pertama, Dunant mengusulkan pembentukan perhimpunan bantuan kemanusiaan yang bersifat permanen untuk memberikan bantuan kepada korban perang tanpa memandang pihak yang bertikai.
Gagasan ini menjadi dasar terbentuknya Palang Merah (Red Cross), sebuah organisasi kemanusiaan global yang dikenal hingga saat ini karena komitmennya dalam membantu mereka yang terdampak oleh konflik dan bencana.
Kedua, Dunant mengusulkan perlunya perjanjian internasional antar pemerintah yang mengakui kenetralan perhimpunan bantuan tersebut, sehingga memungkinkan mereka untuk beroperasi di wilayah perang tanpa hambatan.
Usulan ini kemudian diwujudkan dalam Konvensi Jenewa Pertama, yang ditandatangani oleh dua belas negara pada tanggal 22 Agustus 1864. Konvensi ini menetapkan perlindungan terhadap korban perang dan memperkenalkan lambang palang merah sebagai simbol perlindungan yang diakui secara internasional.
Perjuangan Dunant untuk kemanusiaan diakui dunia, dan pada tahun 1901, ia dianugerahi Penghargaan Nobel Perdamaian yang pertama, sebagai penghargaan atas usahanya yang luar biasa dalam mendirikan Palang Merah dan melahirkan Konvensi Jenewa.
Konvensi Jenewa Pertama yang berfokus pada perlindungan korban perang kemudian diikuti oleh perjanjian-perjanjian lain yang semakin memperluas perlindungan dalam situasi konflik. Pada tahun 1906, sebuah perjanjian baru diadopsi untuk melindungi anggota angkatan bersenjata yang terluka dan sakit di laut.
Baca: Langkah Pertama Menuju Kemanusiaan Global: Pembentukan Palang Merah Internasional di Jenewa
Kemudian, pada tahun 1929, Konvensi Jenewa tentang Perlakuan Tawanan Perang diperkenalkan, menambahkan lapisan perlindungan bagi mereka yang ditangkap dalam pertempuran. Setelah Perang Dunia II, kesadaran akan pentingnya perlindungan yang lebih kuat bagi korban perang semakin meningkat.
Pada tahun 1949, serangkaian konferensi internasional menghasilkan revisi dan perluasan terhadap Konvensi Jenewa yang sudah ada, serta mengadopsi Konvensi Jenewa Keempat yang memberikan perlindungan kepada penduduk sipil selama masa perang.
Konvensi ini mencerminkan kebutuhan untuk melindungi individu dan komunitas dari kekejaman yang terjadi di tengah konflik bersenjata. Namun, seiring berjalannya waktu, sifat konflik bersenjata mengalami perubahan.
Perang saudara dan konflik asimetris semakin mendominasi lanskap global, dan korban sipil menjadi semakin banyak. Untuk menanggapi tantangan-tantangan baru ini, pada tahun 1977, dua Protokol tambahan diadopsi untuk memperluas perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa 1949.
Kemudian, pada tahun 2005, sebuah Protokol ketiga diperkenalkan, menetapkan simbol Kristal Merah sebagai alternatif lambang perlindungan, khususnya bagi negara-negara yang merasa lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah kurang tepat.
Melalui inisiatif-inisiatif ini, Konvensi Jenewa dan organisasi Palang Merah telah menjadi pilar utama dalam upaya global untuk melindungi martabat manusia di tengah perang dan kekacauan.
Mereka terus beradaptasi dan berkembang sesuai dengan dinamika konflik modern, berusaha untuk memberikan perlindungan dan harapan di tengah kegelapan perang.
Baca juga: Henry Dunant: Jejak Sang Visioner dalam Sejarah Kemanusiaan Global