Koropak.co.id – Keputusan BJ Habibie untuk tidak mencalonkan diri sebagai presiden dalam Sidang Umum MPR 1999 menjadi titik balik dalam politik Indonesia yang penuh gejolak. Keputusan tersebut memicu salah satu pemilihan presiden paling dramatis dalam sejarah Indonesia.
Sidang Umum MPR yang seharusnya menjadi forum pemilihan presiden, berubah menjadi ajang pertarungan politik yang penuh intrik. Di tengah situasi yang memanas, Yusril Izha Mahendra, Ketua Umum Partai Bulan Bintang, secara tiba-tiba menarik diri dari pencalonan.
Megawati Soekarnoputri, meskipun didukung oleh PDIP sebagai pemenang Pemilu 1999, harus menerima kenyataan pahit ketika Gus Dur mengalahkannya dan terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode 1999-2004.
Dalam momen krusial, Gus Dur menunjukkan kebijaksanaannya dengan meyakinkan partai-partai politik untuk tidak ikut dalam pemilihan wakil presiden, dan memberikan dukungannya kepada Megawati.
Aliansi ini membawa hasil positif, di mana Megawati berhasil mengalahkan Hamzah Haz dari PPP dan terpilih sebagai Wakil Presiden. Kepemimpinan Gus Dur penuh dengan kebijakan yang visioner, tetapi stabilitas nasional tetap goyah.
Pengaruhnya dalam reformasi Indonesia sangat besar, terutama melalui langkah-langkah radikalnya. Salah satu tindakan revolusioner Gus Dur adalah membubarkan Departemen Penerangan, yang selama era Soeharto menjadi alat kontrol utama atas media.
Gus Dur juga mencatat sejarah dengan mencabut larangan perayaan Tahun Baru Imlek dan menjadikan Konfusianisme sebagai agama resmi keenam di Indonesia, yang memberinya gelar sebagai Bapak Tionghoa dan Bapak Pluralisme.
Namun, kebijakan-kebijakan Gus Dur tidak selalu diterima dengan baik. Usulannya untuk mencabut larangan Marxisme-Leninisme dan upayanya menjalin hubungan dengan Israel menuai kontroversi, terutama dari kalangan Muslim.
Dia juga memperbolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, dengan syarat berada di bawah bendera Indonesia. Hubungannya dengan TNI memburuk setelah kerusuhan di Maluku, di mana Gus Dur menuding keterlibatan anggota TNI dan pendanaan oleh Fuad Bawazier.
Menjelang akhir tahun 2000, ketidakpuasan di kalangan elit politik terhadap Gus Dur mencapai puncaknya. Amien Rais, yang sebelumnya mendukungnya, kini menjadi kritikus paling vokal. Amien berusaha menggalang kekuatan oposisi.
Pada November, 151 anggota DPR menandatangani petisi yang menyerukan pemakzulan Gus Dur. DPR pun mengeluarkan nota yang meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR untuk memakzulkan presiden, yang memicu protes dari kalangan NU di Jawa Timur dan Jakarta.
Baca: Sejarah 9 April 2001: Kala Gus Dur Menetapkan Imlek sebagai Hari Libur
Maret 2001, Gus Dur mulai mengambil langkah tegas. Ia memecat Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Kehutanan Nur Mahmudi Ismail yang dianggap berseberangan dengan visinya. Megawati mulai menjaga jarak. DPR pun mengeluarkan nota kedua yang menyerukan Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.
Gus Dur meminta Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Koordinator Politik Sosial dan Keamanan, untuk menyatakan keadaan darurat, namun permintaan ini ditolak. Akhirnya, Gus Dur memecat SBY bersama sejumlah menteri lainnya pada 1 Juli 2001.
Pada 20 Juli, Amien Rais mengumumkan percepatan Sidang Istimewa MPR menjadi 23 Juli. TNI mulai mengerahkan pasukan di Jakarta. Gus Dur merespons dengan mengeluarkan maklumat pembubaran MPR/DPR, percepatan pemilu, dan pembekuan Partai Golkar, tetapi langkah ini tidak mendapat dukungan.
Pada 23 Juli, MPR resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia.
Meskipun Gus Dur tetap mengklaim dirinya sebagai presiden dan tinggal di Istana Negara beberapa hari lagi, akhirnya pada 25 Juli ia meninggalkan Istana dan pergi ke Amerika Serikat untuk perawatan kesehatan.
Setelah lengser, Gus Dur tetap aktif dalam dunia politik. Sebagai Ketua Dewan Syuro PKB, ia mencopot Matori Abdul Djalil dari posisi Ketua Umum PKB dan melarangnya terlibat dalam aktivitas partai sebelum akhirnya mencabut keanggotaannya.
Konflik internal ini menghasilkan dua faksi PKB, yaitu PKB Kuningan di bawah Gus Dur dan PKB Batu Tulis di bawah Matori. Akhirnya, Mahkamah Agung memenangkan gugatan Gus Dur pada 2003.
PKB mendukung Gus Dur untuk maju dalam Pilpres 2004, tetapi gagal lolos tes kesehatan, sehingga KPU menolaknya. Gus Dur kemudian mendukung pasangan Wiranto-Salahuddin yang kalah dalam pemilu tersebut.
Belakangan, Gus Dur bergabung dalam Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu bersama Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung, dan Megawati, yang secara terbuka mengkritik pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Meskipun kesehatannya semakin menurun, Gus Dur tetap aktif hingga akhir hidupnya. Pada Desember 2009, Gus Dur menghembuskan napas terakhirnya setelah dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Ia dimakamkan dengan upacara kenegaraan di Jombang, Jawa Timur, dan dikenang sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Perjalanan hidupnya yang penuh dinamika meninggalkan warisan abadi bagi bangsa ini.
Baca juga: 21 Mei 1998: Pengunduran Diri Soeharto yang Membuka Era Baru