Koropak.co.id – Kampung Recosari, terletak di Desa Banaran, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, adalah saksi bisu dari masa kolonial Belanda yang masih menyisakan jejak sejarah yang kuat.
Kampung ini dikenal dengan sejumlah bangunan peninggalan Belanda yang tegak berdiri, melestarikan kisah masa lalu yang kental.
Selama era kolonial, jalan utama yang melewati Kampung Recosari merupakan bagian dari proyek Jalan Pos Anyer-Panarukan yang menghubungkan Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta.
Salah satu fitur mencolok dari area ini adalah gapura bertuliskan “Memento Mori,” yang berarti “Ingatlah Kematian.” Gapura ini menandakan lokasi pemakaman Belanda, dan diperkirakan dibangun pada tahun 1939, seperti yang tertera pada batu tersebut.
Di antara makam-makam yang ada, terdapat nama Dr. J.H.D.G. Sanger, seorang warga Belanda yang wafat pada tahun 1892. Namun, banyak makam Belanda lainnya yang kini tidak ditemukan.
Dugaan pembongkaran makam antara tahun 1970-1980 untuk perluasan wilayah pusat kota Boyolali menjadi salah satu alasan hilangnya makam-makam tersebut.
Di timur gapura, terdapat tiga mausoleum yang diyakini milik keluarga elit Belanda-Jawa di Boyolali. Mausoleum, sebagai monumen kematian, biasanya berisi satu peti mati yang terkubur di bawah tanah dan batu nisan berdiri secara vertikal menghadap ke selatan.
Baca: Misteri Kosongnya Kampung Alur Jambu di Aceh Tamiang
Tiga mausoleum yang ditemukan di Kampung Recosari memiliki bentuk yang unik. Salah satu dari mausoleum ini memiliki relung berbentuk setengah lingkaran, yang kemungkinan digunakan untuk meletakkan bunga dan batu nisan.
Mausoleum seperti ini bukan hanya milik golongan Belanda tetapi juga golongan priyayi Jawa maupun Tionghoa. Pembangunannya memerlukan pemahaman fengshui pemakaman yang rumit, menjadikannya simbol kasih sayang dan penghormatan.
Kampung Recosari juga menyimpan beberapa bangunan tua peninggalan Belanda. Salah satunya adalah Balai Pertemuan Bhayangkari, namun tidak ada catatan yang jelas mengenai pemilik bangunan ini pada masa kolonial.
Ada dugaan bahwa pemiliknya adalah seorang tuan tanah yang juga memiliki Hotel Boyolali. Pada abad ke-18 hingga ke-19, seorang tuan tanah Hindia Belanda biasanya memiliki banyak aset seperti perkebunan, hotel, dan gedung societeit.
Berdasarkan catatan dari tahun 1884, di Boyolali terdapat empat keluarga tuan tanah utama, yaitu keluarga Dezentje, keluarga D’Abo, keluarga Doepert, dan keluarga Van Braam, yang masing-masing memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut.
Kampung Recosari kini menjadi saksi hidup dari sejarah kolonial yang penuh warna, menyimpan berbagai cerita dan misteri dari masa lalu.