MEMBACA dari tajuk rencana di Harian Umum Pikiran Rakyat terbitan 21 September 2020 yang berjudul Kontradiksi Kebijakan, seolah mengisyarakat masih adanya beberapa kebijakan pemerintah yang diduga kontradiktif. Pada paragraf pembukanya pun berbunyi “Pemerintah di semua level menghadapi dilema yang serius, apakah mengedapankan pendekatan ekonomi atau mengutamakan kesehatan? Keduanya memiliki risiko masing-masing”.
Kemudian, dilanjutkan dengan pernyataan bahwa lemahnya sinergi dan koordindasi kebijakan ditingkat pusat ternyata menggejala ditingkat daerah. Yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah dugaan munculnya saling menyalahkan dari kalangan elit politik yang justru kian menunjukan tidak adanya koordinasi di antara berbagai level pemerintahan.
Pernyataan-pernyataan tersebut semakin menguatkan dugaan masih terjadinya kontradiktif kebijakan pemerintah. Kita tidak bisa bayangkan bagaimana sebuah ikhtiar yang maha dahsyat harus dilakukan dalam memutus penyebaran Covid-19 di negeri ini guna memberikan efek baik terhadap hidup dan kehidupan masyarakat, ketika para pengambil kebijakan saja tidak sinergi.
Hal ini menguatkan pendapat Jonathan A Lassa dan Miranda Booth, bahwa hampir semua spektrum politik, kepemimpinan populis memiliki sifat-sifat umum yang sama dalam menghadapi Covid-19, bias optimisme dan rasa puas diri, kepemimpinan yang ambigu dan antisains.
Sulitnya pemerintah dalam memilih, apakah pendekatan ekonomi atau kesehatan yang harus diambil dalam penanganan penyebaran Covid-19 ini, memunculkan istilah âRem dan Gasâ yang dianggap sebagai upaya menyeimbangkan proses penanganan Covid-19.
Kesesuaian dan ketepatan pengambilan keputusan menginjak gas ekonomi atau menarik tuas rem protokol kesehatan menjadi unsur yang penting. Bagi saya, istilah rem dan gas dalam lingkup umum memungkinkan bisa diterapkan ketika didukung kebijakan yang sinergi.
Pertanyaannya, apakah Rem dan Gas dapat diterapkan dalam lingkup dunia pendidikan serta pengajaran?
Seiring terus meningkatnya kasus positif Covid-19 di Indonesia, wajah pembelajaran di era Covid-19 dan nasib pembelajaran di sekolah semakin tidak menemukan format yang ideal, mulai dari pemberian pulsa gratis kepada guru dan siswa untuk menunjang pembelajaran daring masih belum menjadi solusi.
Kegiatan Guru Keliling (Ruring) yang dilakukan beberapa waktu yang lalu pun terpaksa harus dihentikan, yang akhirnya situasi pandemi Covid-19 ini pun membuat pola pembelajaran tatap muka tinggal harapan.
Belum lagi, saat ini dunia pendidikan dikagetkan dengan munculnya rencana perubahan pendidikan sejarah ditingkat SMA/SMK yang menjadi pelajaran pilihan bahkan menghilangkan di tingkat SMK pada draf penyederhanaan kurikulum yang sedang digodok oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Tentunya wacana ini banyak menuai kritik dari masyarakat pendidikan.
Menilik konsep âRem dan Gasâ pada saat akan diterapkan dalam konteks pembelajaran, masih perlu uji secara matang dengan melibatkan berbagai pihak, terutama stakeholder. Ketika hal ini diterapkan dengan tidak melibatkan seluruh komponen pendidikan, bisa jadi pengalaman kontradiktif kebijakan pun akan terulang.
Fakta di lapangan tidak dapat dimungkiri. Situasi dilematis tingkat tinggi terus akan dihadapi para kepala sekolah, guru di sekolah, siswa, dan orang tua siswa. Ketika sekolah akan dibuka dan guru melakukan kegiatan pembelajaran tatap muka, sejumlah persyaratan harus dipenuhinya mulai dari persejutuan orang tua, izin dari gugus tugas, perangkat protokol kesehatan di lingkungan sekolah, dan jaminan seluruh warga sekolah akan konsisten menerapan protokol kesehatan.
Semua persyaratan itu bisa dipenuhi ketika didukung dengan aspek kebijakan yang sinergi dari pemerintah termasuk dukungan finansial.
Di sisi lain, ketika pembelajaran dilakukan secara daring (online) bukan berarti tidak ada risiko. Nyatanya, terutama di daerah (3T) masih banyak siswa yang tidak memliki smartphone, sinyal tidak mendukung, kuota yang terbatas, dan lain sebagainya.
Agar hal itu terpenuhi, para orang tua siswa pun harus berpikir keras bagaimana memenuhi kebutuhan anaknya dalam mengikuti pembelajaran secara daring. Ada anak terpaksa harus berjualan agar bisa membeli smartphone dan kuota, bahkan ada anak yang terpkasa mencuri handphone orang agar bisa mengikuti pembelajaran daring. Sungguh sebuah kondisi yang mengkhawatirkan.
Kebijakan pulsa gratis yang digulirkan pemerintah beberapa waktu lalu nampaknya belum menjadi solusi alternatif yang ideal. Pengalokasian dana BOS untuk mendukung kegiatan pembelajaran agar lebih efektif dan efisien pun masih belum sepenuhnya dipahami. Masih banyak kepala sekolah yang ketakutan menggunakan dana BOS untuk pembelajaran daring, takut dianggap menyalahgunakan, dan lain sebagainya.
Jika âRem dan Gasâ akan diterapkan di sekolah, maka kata kuncinya adalah kebijakan pemerintah yang sinergi dan simultan. Selain itu, harus didukung juga dengan komitmen, konsisten, dan koordinasi, pengawasan serta edukasi kepada seluruh warga sekolah agar secara bersama-sama melakukan kebijakan yang ditentukan pemerintah baik pusat maupun daerah secara Sareundeuk Saigel, Sabobot Sapihanean.
Dengan cara itulah kita optimis situasi akan kembali normal, pembelajaran bisa tatap muka di sekolah, para siswa dan guru bisa saling mengeskplorasi pontensi masing-masing melalui kehadiran pembelajaran yang bermakna Joyfull Learning.
Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca Koropak, isi dari opini di luar tanggung jawab redaksi. Cara kirim tulisan, klik disini!