KOMISI Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan rancangan Peraturan KPU yang berisi pelarangan bagi mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Namun rancangan PKPU yang bertujuan menghasilkan pemilu berkualitas memunculkan polemik dan sempat ditentang oleh kementerian hukum dan HAM karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia.
Meski Itikad KPU melarang narapidana korupsi menjadi calon legislatif (caleg), adalah agar melahirkan wakil rakyat berkualitas, namun KPU sudah melebihi kewenangan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu, bukan lembaga yang berhak melarang berpolitik.
KPU juga ditetapkan sebagai pelaksana undang-undang. Jadi tidak boleh bertentangan undang-undang karena Peraturan KPU itu statusnya di bawah undang-undang.
Dalam hukum Indonesia hanya pengadilan yang bisa membatasi hak politik warga berdasarkan keputusan sidang. Selain itu, peraturan yang dibuat KPU bertentangan dengan Pasal 240 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2009 atas uji materi tiga pasal di undang-undang tersebut dan Undang-Undang Pemerintah daerah.
Dalam putusannya, MK membolehkan mantan terpidana dengan ancaman hukuman lima tahun penjara atau lebih menjadi peserta Pemilu. Norma di UU Pemilu sudah sesuai dengan azas keadilan.
Sebab selama menjalani hukuman para koruptor juga tidak bisa berpolitik. Hukuman lima tahun dianggap cukup untuk membuat koruptor jera dan dicabut hak politiknya. Jika sudah bebas hak politiknya bisa diperoleh kembali.
Larangan KPU bagi narapidana korupsi menjadi caleg, tak beralasan. Sebab korupsi bisa dilakukan siapa saja, tidak hanya calon anggota legislatif. Bisa calon bupati, calon walikota, calon hakim agung.
Yang sudah mantan terpidana korupsi juga belum tentu akan melakukan tindakan serupa. Bisa saja para mantan terpidana korupsi itu bertaubat.
Terlebih lagi norma dalam UU Pemilu Pasal 240 ayat 1 sudah mensyaratkan seorang mantan narapidana korupsi mengumumkan secara terbuka di media massa tentang rekam jejak kehidupannya.
Itu sudah cukup sebagai bentuk pengawasan dan pendidikan politik bagi pemilih. Pemilihlah yang dituntut cerdas untuk memilih caleg yang benar-benar memiliki rekam jejak yang bagus dan bermartabat.
Meski demikian, Pasal 8 huruf (j) PKPU yang melarang mantan napi korupsi menjadi caleg merupakan usul yang memiliki nilai moral tinggi dengan tujuan mendapatkan hasil pemilu yang lebih baik.
Apalagi membuat rancangan Peraturan KPU merupakan tugas dan wewenang KPU. Pemerintah yang menolak peraturan tersebut tidak mengikat KPU. Sesuai dengan keputusan MK Nomor 92/PUU-XIV/2016 yang menyatakan KPU merupakan lembaga independen.
Hak seseorang memilih dan dipilih mestinya tidak menjadi hambatan masyarakat mendapatkan pemilu yang berkualitas dan bermartabat. Selain itu, integritas Pemilu ditentukan berdasarkan tiga hal.
Mulai dari penyelenggara, pemilih dan peserta. Sehingga, keputusan KPU membuat usulan tentang pelarangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg bisa dikatakan tepat.
Sebab tidak sedikit peserta pemilu yang sudah dan pernah terbukti terlibat tindak pidana korupsi atau mantan narapidana korupsi. Sehingga, langkah KPU bisa dianggap sebagai tindakan mencegah terjadinya korupsi yang sudah menjadi kejahatan luar biasa di negeri ini.
Jika KPU tidak membatasi mantan terpidana korupsi menjadi Caleg akan menjadi ironi bagi pelaksanaan demokrasi yang berintegritas dan bermartabat.
Di satu sisi semua lembaga negara dituntut untuk mencegah korupsi tapi di sisi lain dianggap melanggar HAM. Padahal KPU terus dituntut untuk melaksanakan pemilu yang memiliki integritas sehingga melahirkan wakil rakyat yang berkualitas.
Sebagai jalan tengah dari pro-kontra larangan bagi mantan napi koruptor menjadi caleg, KPU tetap bisa mengesahkan larangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg dalam PKPU meskipun berbeda pandangan dengan DPR, Kemendagri dan Bawaslu.
Karena KPU merupakan lembaga mandiri dan independen dalam menyelenggarakan Pemilu salah satunya dalam penyusunan regulasi dan mempunyai kewajiban moral menjaga integritas Pemilu.
Bahkan, persyaratannya bisa ditambah. Bakal calon yang tercantum dalam Pasal 7 ayat 1 Peraturan KPU, tidak pernah terpidana kasus korupsi, bandar narkotika, dan terorisme. Artinya berkelakuan baik sesuai catatan kepolisian dan pengadilan.
Apalagi, dalam Pasal 169 huruf d UU 7/2017, mantan terpidana korupsi tidak bisa mencalonkan diri menjadi Presiden atau Wakil Presiden. Calon Presiden dan Wakil Presidan sudah jelas dilarang dari mantan narapiana korupsi. Berarti tidak melanggar HAM. Justru KPU sudah menerapkan peraturan yang adil dan tidak diskriminatif pada Pemilu 2019.
Namun kerasnya penolakan dari pemerintah terhadap usul KPU kemungkinan besar persyaratan seseorang menjadi caleg kembali ke Pasal 240 Ayat 1 huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebutkan seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan kepada publik secara jujur dan terbuka bahwa dirinya pernah berstatus sebagai narapidana.