Kepemimpinannya Hingga 7 Generasi
Pondok Pesantren Riyadlul Ulum Wadda’wah merupakan Pondok Pesantren yang terletak di Kampung Condong RT.01 RW.04 Kelurahan Setianegara Kecamatan Cibeureum Kota Tasikmalaya. Pondok Pesantren ini juga merupakan salah satu Pesantren tertua yang ada di kota Tasikmalaya dan didirikan sejak 1864 Masehi. Mula-mula Pesantren ini memberlakukan sistem pendidikan klasikal dengan mengkhususkan diri pada pengajian kitab-kitab klasik ulama terdahulu yang didirikan oleh KH. Nawawi berasal dari Kampung Sukaruas Rajapolah Kabupaten Tasikmalaya dan telah mengalami 7 generasi kepemimpinannya.
Pada akhir abad ke 18 atau sekitar 1864 Masehi KH. Nawawi mendirikan pesantren dengan adanya wakap tanah seluas 400 tumbak dari Pangeran Komel Sumedang sebagai bukti sejarahnya. Setelah Dia meninggal perjuangan tersebut dilanjutkan oleh anaknya yang bernama KH. Adrai, akan tetapi Dia membuka pesantren di daerah lain maka kepemimpinan pesantren tersebut diserahkan kepada menantunya KH. Hasan Muhammad.
Setelah sepeninggalan KH. Hasan Muhammad, kepemimpinan pesantren ini pun dilanjutkan oleh KH. Damiri mengingat anak laki-laki tertuanya masih kecil. Sehingga tatkala anak laki-laki tertua tersebut sudah dewasa maka pada 1986 kepemimpinan saat itu diserahkan kepada KH. Nazmuddin sebagai anak tertuanya yang kini sudah dewasa. Sedangkan dari 1986 hingga 2014 pesantren ini dipimpn oleh adik Almarhum KH. Ma’mun. Mulai dari tahun 2014 hingga sekarang pimpinan pesantren diamanatkan kepada KH. Diding Darul Falah sebagai putra tertua Dia.
Pesantren ini berdiri diatas lahan kurang lebih 3 hektar tanah dengan dilengkapi berbagai fasilitasnya diantaranya asrama putra dan putri, gedung sekolah, mesjid, musholla, fasilitas lab, fasilitas olahraga, lahan perkebunan, lahan perikanan, MCK, dan lainnya. Pada awal pembelajarannya pesantren ini hanya mengajarkan kitab kuning hingga sudah banyak alumninya menjadi pejuang penyebar agama di berbagai daerah yang didatanginya mulai dari pelosok nusantara dan luar negeri.
Pelosok nusantara dan luar negeri tersebut diantaranya Jawa Barat, Banten, DKI, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, NTT, Papua, Singapura dan Malaysia. Sehingga Pada saat kerusuhan 26 Desember 1996 di Tasikmalaya, banyak para alumni beserta jama’ahnya datang ke Pesantren ini untuk menengok Ustad Mahmud Farid, putra dari Pimpinan Pesantren yang telah menjadi korban kekerasan oknum Polisi yang mengakibatkan kemarahan masyarakat luas.
Pada 1985 Pesantren ini sudah mulai memadukan kurikulum Pesantren dengan kurikulum Gontor, sehingga sejak 2001 Pesantren ini sudah memadukannya dengan kurikulum pendidikan Nasional yaitu SMP Terpadu. Selain itu mulai dari 2003-2004 dibukalah SMA Terpadu dengan program lanjutan dari SMA Terpadu dan Program Intensif (SMP dari luar). Sama halnya dengan SMP Terpadu, SMA Terpadu ini juga paduan dari kurikulum Pendidikan Nasional, Kurikulum Pondok Pesantren serta Kurikulum Gontor.
Fase Condong lama dimulai sejak berdirinya Pondok Pesantren sekitar abad ke 18 atau sekitar 1864 Masehi hingga dibukanya pendidikan formal di lembaga ini. Fase ini juga pesantren memberlakukan sistem pendidikan klasikal dengan mengkhususkan diri pada pengajian kitab-kitab klasik ulama terdahulu. Dengan dimulai dibukanya pondok oleh seorang ulama terkenal dari Rajapolah saat itu, mulai dari KH. Nawawi hingga meninggalnya KH. Hasan Muhammad yang merupakan generasi keempat dari Pesantren ini.
1. KH. Nawawi sebagai generasi pertama
Dalam upayanya mengembangkan masyarakat melalui pendidikan dan dakwah sebagai kiprahnya, Pesantren Condong ini diawali dari kedatangan santrinya bernama Anwi/Nawawi yang berasal dari Sukaruas Rajapolah. Kemudian Dia menikahi salah seorang putri gurunya KH. Badaruddin dari Sindangkasih bernama Nyai Latifah. Sementara itu KH. Badaruddin sendiri merupakan seorang pendatang dari daerah Cirebon yang konon katanya memiliki kecerdasan hafalan kitab fiqh Fathul Wahab karangan dari Syaikhul Islam Abi Yahya Zakaria al-Anshori.
Melalui petunjuk dari Dialah, KH. Anwi mendirikan pesantren di kampung Condong (tepatnya berada di palang pintu spoor/rel kereta api saat ini). Pada awal pendiriannya, Dia tidak memberikan nama untuk pesantrennya, akan tetapi pesantren tersebut dikenal dengan nama kampung dimana pesantren itu berdiri yaitu Kampung Condong. Sehingga dari hal tersebutlah masyarakat dan santrinya pesantren tersebut dinamakan Pondok Pesantren Condong.
2. KH. Adra’i sebagai generasi kedua
Setelah KH. Nawawi meninggal pada masa berikutnya kepemimpinan pesantren pun dilanjutkan oleh putranya yaitu KH. Adra’I (Arif Muhammad). Dia pun menikahi Nyai Apang dan dari hasil pernikahan pertamanya itu dikaruniai 3 anak yaitu H. Shobari, Syuja’l dan Eyoh. Setelah sepeninggalan istrinya, Dia menikah lagi dengan Nyai Natamirah. Setelah itu Dia mengamanatkan kepada menantunya KH. Hasan Muhammad dari Nagarakasih untuk keberlangsungan kegiatan pesantrennya dan KH. Hasan Muhammad merupakan cucu dari KH. Badaruddin.
Sedangkan dari pernikahan keduanya KH. Adra’I dikaruniai 6 orang putera dan putri yaitu Nyai Iti, KH. Abdullah, Endun, Muhammad Toha, Nyai Enyoh dan Nyai Juwe. Kemudian KH. Adra’I berpindah ke Sindangmulih dengan mendirikan juga pesantren di tempat tersebut. Pada masa kepemimpinannya sendiri semasa hidupnya, Dia pernah diamanati Dalem Sumedang bernama Pangeran Kornel dimana Tasikmalaya pada masa itu termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Sumedang.
3. KH. Hasan Muhammad sebagai generasi ketiga
Generasi ketiga kepemimpinan pesantren ini diamanatkan kepada KH. Hasan Muhammad yang menikahi salah seorang putri KH. Adra’I bernama Eyoh Siti Ruqoyah. Bagi KH. Hasan Muhammad, KH. Adra’I merupakan guru sekaligus mertua yang masih memiliki hubungan kerabat dengan cicit KH. Badaruddin. Melalui pernikahannya itu, Dia dikaruniai 8 orang putra dan putri diantaranya Nyai Diyoh, Nyai Eneh, Hj. Erum, Nyai Noneng, Nyai Mamat, KH. Najmuddin, KH. Ma’mun dan Cucu Sukmariah.
KH. Hasan Muhammad dalam menjalankan dakwahnya, menerapkan metode pendekatan kultural dan berbaur dengan kebudayaan masyarakat sehingga menciptakan hasil yang cukup memuaskan. Dalam kepemimpinannya juga Dia dibantu oleh KH. Syuja’I, salah seorang iparnya yang konon memiliki kecerdasan ilmu hikmah dan pernah mengenyam pendidikan agamanya di Mekkah selama 9 tahun. Dia wafat dan dimakamkan di pemakaman Pesantren Condong (samping Masjid Jami’)
4. KH. Damiri sebagai generasi keempat
Mengingat KH. Hasan Muhammad yang wafat dan meninggalkan anaknya yang masih kecil, maka kepemimpinan pesantren pun dilanjutkan oleh Thohie atau lebih dikenal dengan nama KH. Damiri. Dia merupakam santri yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan KH. Hasan Muhammad, kemudian Dia menikahi salah satu putrinya yang bernama Hj. Erum. Sehingga dari hasil perkawinannya Dia dikaruniai 9 orang putra yaitu Aj. Muhammad Sambas, H. Yusuf Affandi (Alm), Ny. Nana Nahidah (Alm), Ny. Nenoh, Ny. Memoh, Ny. Idoah, Ny. Juju Juaruyah, Muhammad (Alm), dan H. Abdullah.
KH. Damiri di dalam dakwahnya Dia merupakan pelopor Madrasah Diniyah yang dikenal dengan nama Sekolah Diniyah. Dalam salah satu imtihan yang diadakan madrasah ini juga pernah dihadiri oleh Bupati pertama dari Tasikmalaya yaitu R.A.A Wiratanuningrat. Selain itu Dia juga menerapkan meyode nadham dalam pengajaran diniahnya seperti dalam bidang Tauhid dan Fikih yang diambil dari intisari kitab Safitanun-Naja. Pada 1933 kepemimpinan pesantren diserahkan kepada KH. Najmuddin karena Dia ingin berkonsentrasi untuk mengelola Madrasah Diniyah dan beliu wafat dan dimakamkan di Pemakaman Pesantren Condong.
5. KH. Najmuddin pada 1917-1986 sebagai generasi kelima
Dalam masa kepemimpinannya, KH. Najmuddin tampil sebagai ulama muda yang berusia 18 tahun karena Dia dilahirkan pada 1917. Dia pernah menempuh pendidikannya dengan menyantri pada KH. Xaenal Abidin di Jamanis, Gunung Kawung Singaparna, Cisumur Garut, Sukaraja, Condong dan di Pesantren Cikalang yang diasuh oleh KH. Bakri dengan pendidikan yang Dia tempuh adalah Forfolh. Dia juga sering dikenal dengan Mama Mamu dikalangan para santrinya dan merupakan ulama yang kharismatik.
Selain itu juga Dia banyak mencetak kader yang mengikuti jejak perjuangannya dalam mengembangkan ilmu agama dan mendirikan pesantren di berbagai daerah khususnya Jawa Barat dan sekitarnya. Dia menikahi Hj. Onah Siti Ainah binti H. Abdullah yang meninggal pada 1983, dan pada tahun tersebut juga Dia menikah lagi dengan Hj. Ai namun dari pernikahan yang keduanya ini sayangnya Dia tidak dikaruniai keturunan.
6. KH. Ma’mun pada 1920-2014 sebagai generasi keenam
Sepeninggalan dari KH. Najmuddin pengelolaan pesantren pun dilanjutkan oleh adiknya bernama KH. Ma’mun, dan Dia juga merupakan pemegang amanah pesantren yang keenam dari asal pendiriannya. Dia lahir pada 1920 dengan menikahi Hj. Oyom Maryam binti KH. Dimyati pendiri Pondok Pesantren Cintapada. Dari hasil perkawinannya tersebut, Dia dikaruniai 11 orang putra dan putri diantaranya Hj. Nunung Nuroniah, Hj. Ukah Mulkah, Hj. Iin Inqiadah, KH. Diding Darul Falah, K. Ade Diar Hasani, Hj. Euis Robiatul Adawiyah, Ny. Dedeh Mahmudah, KH. Drs. Mahmud Farid, Ny. Neni Nurmaidah, Usth. Entin Suryatin, dan KH. Drs. Endang Rahmat.
Pada 2001 Pesantren Condong menyelenggarakan pendidikan formal setingkat dengan SMP. selanjutnya pada 2004 Dia juga membuka lembaga pendidikan setingkat SMA. Pendidikan dan Pengajaran di SMP-SMA Terpadu ini merupakan perpaduan antara 3 sintesa kurikulum diantaranya kurikulum pesantren salaf, kurikulum Pesantren Modern ala Pondok Modern Darussalam Gontor serta kurikulum yang bersumber pada Departemen Pendidikan Nasional yang mengutamakan keseimbangan iman, ilmu dan amal.
Pada 2009 Pesantren ini membuka pendidikan Pesantren tingkat ma’had Aly yang merupakan kelanjutan dari sistem pembelajaran 6 tahun di SMP-SMA Terpadu. Ma’had Aly ini didesain untuk mencetak para kader ulama yang bertafaquh fiddin dan siap untuk berdakwah di masyarakat. KH. Ma’mun juga dibantu oleh pengasuh dan pendidikan dari berbagai latar belakang pendidikan yang berbeda seperti alumni pesantren salaf, Pondok Modern Darussalam Gontor dan alumni perguruan tinggi negeri dan swasta.
7. KH. Diding Darul Falah pada 2014 sebagai generasi ketujuh
Setelah KH. Ma’mun meninggal pesantren pun dikelola oleh putra lelakinya yang tertua bernama KH. Diding Darul Falah. KH Diding lahir pada 1953 dan Dia merupakan pemegang amanah ke 7 dari asal pendirinya. Dia juga menikah dengan Hj. Titi Siti Hanah dan dikaruniai 3 orang putra dan 4 putri. Selain itu juga KH. Diding memiliki Latar belakang pendidikan pesantren Condong, pesantren Cikole dan pesantren Cipasung.
Pondok Pesantren ini kini berlokasi di Setianegara RT.01 RW.04 Cibeureum Tasikmalaya Jawa Barat dengan situs resminya adalah www.pesantren-condong.net/. (E. Kuswara/Koropak)***