Koropak.co.id – Puncak Karantenan merupakan salah satu nama puncak di Gunung Sawal yang berada di wilayah Kabupaten Ciamis. Puncak tersebut masih dipercayai dengan adanya orang-orang terdahulu yang masih hidup namun tidak bisa terlihat (Tilem).
Masyarakat sekitar Panjalu dan Panumbangan di Kabupaten Ciamis sering sekali mendaki ke Puncak Karantenan, bahkan ada yang rutin satu bulan sekali. Dari data yang didapat, dalam dua bulan terakhir terhitung lebih dari 100 orang naik ke Karantenan dengan tujuan untuk ziarah.
Kuncen Gunung Sawal, Ading mengatakan Puncak Karantenan dinobatkan sebagai tempat yang suci yang dipegang oleh keluarga Kerajaan Panjalu. Sampai-sampai bagi warga manapun untuk memenuhi syarat memasuki Bumi Alit Panjalu haruslah naik ke Karantenan dan mandi di pagi hari di air genangan berbentuk kolam yang tepat berada tidak jauh dari puncak.
“Adapun Panggeugeuh (yang menjaga tempat suci) dari Puncak Karantenan itu sendiri bernama Prabu Trisna Jati Antaputih. Beliau merupakan penyebar ajaran agama Islam di wilayah Panjalu dan beliau juga merupakan pendiri Kerajaan Panjalu. Istri beliau yang bernama Dewi Haryani Ningsih berada di Curug Putri, namun curug tersebut sulit dicari keberadaanya karena terhalang oleh dinding gaib,” katanya.
Baca : Ekspedisi Gunung Sawal Niis di Gunung Lembur
Menurut sudut pandang Ading sebagai kuncen yang kediamannya berada di kaki Gunung Sawal, tepatnya Kampung Tembong Desa Kertamandala Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis itu, terdapat delapan ekor macan putih yang menjaga seluruh area Gunung Sawal, itu semua merupakan bala tentara pada jaman kerajaan yang masih menjaga hingga sekarang.
Salah seorang yang melakukan Ekspedisi Gunung Sawal beberapa waktu lalu, M Tidar Suryabangkit menceritakan setibanya di Puncak Karantenan, timnya disuguhkan dengan adanya aktivitas peziarah yang sedang melakukan ruqiyah.
“Tepat waktu menuju magrib tiba di puncak, tim kami mengambil air wudhu ke genangan air yang berada di sekitaran puncak. Di sana kembali disuguhkan dengan wangi-wangian dupa dan kemenyan yang menambah suasana semakin mistis,” ujarnya.
Di lokasi tersebut terdapat juga air yang sudah diwadahi kedalam jerigen dan ditemukan pula barang yang dapat dikatakan sesajen berupa beberapa batang roko, dupa, serta telur ayam kampung.
________________________________________
Di Puncak Karantenan terdapat
tiga kubangan air yang diyakini
oleh masyarakat sekitar merupakan
Air Zam-zam. Menurut cerita rakyat,
air tersebut merupakan sisa-sisa
dari gayung yang dibawa
oleh Prabu Boros Ngora yang
dilemparkan ke Pegunungan Sawal.
________________________________________
Airnya menjadi kubangan itu dan gayungnya yakni tumbuhan Kantong Semar menjadi ciri khas tumbuhan yang menyerupai gayung.
“Sekitar pukul 02.WIB, dua orang tim ekspedisi kami sedang piket dan mencari kayu bakar, akan tetapi pada saat itu mereka melihat ada sosok berjubah putih yang melakukan semedi dengan bersila namun dalam keadaan melayang,” ucapnya.
Mungkin tidak semua gunung yang didaki mendapatkan hal yang sifatnya serupa seperti ini, tetapi para pendaki perlu mengerti jika para pendakilah yang sebenarnya menjadi pendatang dan tamu mereka.
“Oleh sebab itu, dengan memegang teguh keyakinan serta meyakini bahwa Tuhan menyertai perjalanan kita, Insyaalloh di manapun, dalam keadaan apapun, kita akan selamat,” katanya.
Baca : Mitos Cadas Pangeran Sumedang
Sebenarnya, kata Tidar, motif para peziarah ini juga menjadi salah satu tujuan mendaki, namun tim ekspedisi belum sampai ke arah sana sehigga hanya bertanya-tanya tentang apa hal yang tidak dapat dimengerti nalar, dan pertanyaan atas rasa penasaran.
Dikatakan Tidar, pada kubangan air tersebut tidak terdapat mata air. Namun saat musim kemarau tiba, debit air tidak mengurang dan tidak lebih. Padahal dalam kurun waktu satu tahun dapat mencapai ribuan orang peziarah mendatangi lokasi ini. Hingga sekarang masyarakat sekitar menyebut air kolam tersebut Air Karomah.
Sangat disayangkan di sepanjang perjalanan melalui jalur pendakian Tembong, banyak sekali papan petunjuk nama pos pendakian dan keterangan koordinat ketinggiannya.
“Tim agak ragu dengan kondisi tersebut, karena keterangan yang terbuat dari seng itu disimpan dengan cara di paku ke pohon-pohon. Padahal sejatinya Gunung Sawal merupakan area konservasi, jadi sebenarnya hal tersebut tidak perlu,” katanya.
Di samping itu, tutur Tidar, tim juga menemukan banyaknya peziarah yang mendirikan tenda dengan menggunakan terpal yang bertiangkan kayu. Tentunya kayu tersebut ditebang dari pohon-pohon yang masih hidup sehingga banyak sekali pohon yang tidak terlalu besar namun pada tumbang akibat tebasan golok para pendatang.*
Baca pula : Mitos Tanjakan Emen