Video

Jejak Dinasti Politik Indonesia, Dari Soekarno hingga Jokowi

×

Jejak Dinasti Politik Indonesia, Dari Soekarno hingga Jokowi

Sebarkan artikel ini

Koropak.co.id – Dalam sejarah politik Indonesia, sejumlah presiden tak hanya dikenal karena kebijakannya, tetapi juga peran anak-anak mereka dalam dunia politik. Soeharto adalah presiden pertama yang secara aktif melibatkan anak-anaknya dalam politik selama masa jabatannya.

Pada tahun 1992, ia menunjuk tiga anaknya sebagai anggota MPR dan pada tahun 1998, ia mengangkat putrinya, Tutut Soeharto, sebagai Menteri Sosial.

Setelah era Soeharto, politik dinasti sempat meredup. Presiden Habibie, Gus Dur, dan Megawati tidak terlibat langsung dalam mendukung anak-anak mereka di politik selama masa jabatan mereka.

Baru setelah Gus Dur lengser, Yeni Wahid terjun ke dunia politik sebagai Sekjen PKB. Demikian pula, Puan Maharani mulai terjun ke politik setelah Megawati tak lagi menjadi presiden.

Fenomena politik dinasti kembali mencuat di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Anaknya, Ibas Yudhoyono, mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2009 saat SBY menjalani periode kedua kepresidenannya.

Tren ini berlanjut di masa Joko Widodo (Jokowi), namun dengan pendekatan yang berbeda. Alih-alih legislatif, kedua anaknya, Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep, memilih jalur politik di tingkat daerah. Gibran memenangkan Pemilihan Wali Kota Solo dengan suara telak pada 2020.

Meski demikian, dinasti politik Jokowi sering dibandingkan dengan keluarga Cendana, dinasti politik Soeharto. Masyarakat menilai pengaruh keluarga Soeharto lebih besar, terutama di bidang ekonomi.

Beberapa anggota keluarga Soeharto, seperti Bambang dan Tommy Soeharto, masih menguasai berbagai sektor bisnis besar di Indonesia.

Sebaliknya, bisnis kuliner yang dijalani anak-anak Jokowi sering kali menghadapi berbagai tantangan, menunjukkan perbedaan yang mencolok antara dinasti politik Jokowi dan Cendana.

Menurut Direktur Polmark Reseacrh Center, Eep Saefulloh Fattah, ada beberapa krisis yang mengancam pemerintahan Jokowi, termasuk krisis dukungan politik dan kebijakan yang dinilai gagal.

Baca: Ketetapan MPRS 1967 dan Jatuhnya Soekarno dari Kursi Kepemimpinan

Untuk mempertahankan pengaruh, Jokowi diduga berusaha membangun dinasti politik yang kuat, menyaingi dinasti-dinasti sebelumnya seperti Soekarno, Soeharto, dan SBY.

Salah satu isu yang menarik perhatian publik adalah pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto untuk Pilpres 2024.

Gibran yang masih relatif muda dianggap memanfaatkan kekuasaan keluarganya, yang juga diperkuat oleh peran Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, yang merupakan paman Gibran.

Meski hal ini dianggap tidak etis oleh beberapa kalangan, langkah ini disebut sebagai upaya Jokowi untuk mempertahankan kekuasaan dan memastikan keberlanjutan pengaruh politik keluarganya.

Fenomena politik dinasti ini tidak hanya terjadi di tingkat nasional, tetapi juga menyebar ke tingkat daerah. Kementerian Dalam Negeri mencatat ada sekitar 60 dinasti politik di berbagai daerah pada tahun 2013, dan angka ini terus meningkat.

Berbeda dengan era Soeharto, di mana dominasi politik keluarga lebih terkonsentrasi di pusat, kini dinasti politik daerah mulai tumbuh pesat.

Munculnya dinasti politik ini mengundang berbagai kritik dari publik, yang menilai praktik ini dapat merusak demokrasi. Terlebih, dalam beberapa kasus, dinasti politik sering kali memfasilitasi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Meski demikian, politik dinasti terus berkembang di Indonesia, dikarenakan salahsatunya oleh faktor pendidikan dan ekonomi yang masih rendah di banyak daerah.

Gerakan perlawanan terhadap politik dinasti juga mulai muncul di media sosial. Baru-baru ini, gambar viral burung Garuda berlatar biru menjadi simbol protes terhadap kolusi antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Gerakan ini dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap keputusan-keputusan politik yang dianggap lebih mengutamakan dinasti daripada demokrasi.

Poster bertuliskan “Peringatan Darurat” ini telah menjadi viral di berbagai platform, dari Instagram hingga X (dulu Twitter), dan didukung oleh sejumlah publik figur terkenal Indonesia. Para pengamat politik menilai gerakan ini sebagai bentuk kritik terhadap arah politik di Indonesia saat ini.

error: Content is protected !!