Video

Rumah Jenderal Ahmad Yani, Saksi Bisu Malam Jahanam G30S PKI

×

Rumah Jenderal Ahmad Yani, Saksi Bisu Malam Jahanam G30S PKI

Sebarkan artikel ini

KOROPAK.CO.ID – Inilah rumah yang menjadi saksi bisu dari tragedi malam kelam 30 September 1965. Di balik pintu maut itu, Jenderal Ahmad Yani tersungkur setelah diterjang tujuh peluru dari pasukan Cakra Birawa. Kini, 59 tahun telah berlalu, namun kondisi rumah tua ini tidak banyak berubah.

Aura peristiwa berdarah itu masih samar-samar terasa saat kita berkunjung ke sana. Rumah ini menyimpan kisah-kisah tak terungkap, berbeda dengan cerita yang ditampilkan dalam film Pengkhianatan G30S/PKI.

Bagaimana kondisi rumah kesayangan Jenderal Ahmad Yani saat ini? Mari kita jelajahi rumah yang menjadi saksi bisu malam berdarah itu.

Rumah Jenderal Ahmad Yani terletak di Jalan Lembang, Menteng, Jakarta Pusat. Dari luar, bangunan ini tampak seperti rumah khas berarsitektur 1960-an.

Meskipun pada tahun 1962 Jenderal Ahmad Yani mendapatkan rumah dinas di kawasan Taman Suropati, ia memilih tetap tinggal di rumah ini yang telah dihuni sejak 1956. Saat ini, untuk memasuki rumah ini, pengunjung harus melewati pintu samping, bukan pintu depan.

Menurut petugas yang berjaga, aturan ini merupakan bagian dari penggambaran peristiwa asli pada malam G30S, di mana pasukan Cakra Birawa masuk melalui pintu samping yang dibukakan oleh Mbok Mila, pembantu keluarga Yani.

Di ruang belakang ini, yang dulu sering digunakan sebagai tempat berkumpul dengan anak-anaknya, masih terdapat sofa yang sama, lengkap dengan kumpulan foto-foto Jenderal Ahmad Yani saat bertugas. Beberapa dokumentasi dari film G30S/PKI juga dipajang di sini.

Pada malam kejadian, pasukan Cakra Birawa menerobos masuk setelah melumpuhkan penjaga rumah. Mereka bertemu Mbok Mila dan putra bungsu Yani, Irawan Suraedi, yang baru berusia tujuh tahun. Setelah dibangunkan, Pak Yani menemui pasukan di lorong rumah.

Salah satu serdadu sempat ditempeleng oleh Yani karena bersikap kurang ajar. Marah atas kejadian itu, serdadu bernama Giadi kemudian menembakkan tujuh peluru ke arah Jenderal Yani, lima peluru menembus tubuhnya dan dua peluru bersarang di punggungnya, membuatnya ambruk di depan pintu.

Baca: Kilas Balik Sejarah Singkat Peristiwa G30S/PKI

Putra Jenderal Yani, Edi, pernah bercerita bahwa penggambaran dalam film G30S/PKI belum seakurat kenyataan. Setelah Yani ditembak, salah satu pasukan Cakra Birawa bahkan membalikkan tubuhnya dengan kaki untuk memastikan ia telah tewas.

Kemudian, tubuh Yani diseret keluar rumah menuju truk tentara di depan. Darahnya meninggalkan jejak di lantai rumah. Bu Yani, yang tiba pada pukul 5 pagi, menjerit histeris saat diberitahu bahwa suaminya telah ditembak dan diculik.

Ia kemudian mengambil kemeja terakhir yang dikenakan suaminya dan menggunakannya untuk menyeka darah yang tercecer di lantai. Salah satu sudut rumah yang masih dipertahankan adalah ruang tamu, dengan sofa dan meja yang tetap berada di posisi aslinya.

Tamu terakhir yang diterima oleh Jenderal Yani adalah Mayjen Basuki Rahmat, sekitar pukul 7 malam pada 30 September 1965, tepat pada malam Jumat Kliwon.

Putri Jenderal Yani, Amelia, pernah menceritakan bahwa pada sore hari itu, ayahnya seperti sudah mendapatkan firasat. Saat berada di meja bar, ia secara tidak sengaja menjatuhkan botol parfum hingga pecah.

Kemudian, ia mengoleskan parfum itu kepada Amelia dan saudara-saudaranya, sambil berkata, “Kalau ada yang tanya, bilang saja wanginya dari Bapak.” Tak disangka, itu adalah pesan terakhir dari Jenderal Yani kepada anak-anaknya.

Di kamar pribadi Yani, masih tersimpan barang-barang pribadi dan kesayangannya. Salah satu yang paling berkesan adalah replika baju terakhir yang dikenakannya pada malam berdarah itu, sementara baju asli disimpan di Museum Pengkhianatan PKI di Lubang Buaya.

Sejak tahun 1966, rumah ini diubah menjadi museum oleh Jenderal Soeharto dan diberi nama Museum Sasmita Loka Ahmad Yani. Kehidupan keluarga Jenderal Yani berubah drastis setelah peristiwa tersebut.

Bu Yani, yang harus menghidupi delapan anaknya, terpaksa berjualan beras dan sembako demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Meski begitu, mereka berhasil bangkit dari keterpurukan. Rumah ini kini menjadi simbol sejarah, agar generasi penerus tidak melupakan pengorbanan para pahlawan.

error: Content is protected !!