KOROPAK.CO.ID – Masyarakat Aboge, atau Alif Rebo Wage, merupakan salah satu komunitas masyarakat Jawa yang menggabungkan sistem kalender tradisional Jawa dengan unsur penanggalan Islam.
Kehidupan sehari-hari mereka diwarnai oleh keyakinan akan hal-hal sakral, termasuk waktu-waktu khusus yang harus diperhatikan dalam melaksanakan berbagai aktivitas. Salah satu kepercayaan penting yang mereka junjung tinggi adalah konsep Hari Naas.
Hari Naas, atau hari nahas, memiliki makna mendalam dalam tradisi masyarakat Jawa Aboge. Hari ini didasarkan pada hari wafatnya orang tua seseorang, yang dipercaya membawa sifat-sifat mereka.
Jika orang tua semasa hidupnya dikenal memiliki karakter yang kurang baik, maka hari wafatnya dianggap sebagai hari yang “buruk”, dan karenanya dihindari untuk melakukan berbagai aktivitas. Kepercayaan ini diyakini untuk mencegah agar sifat buruk orang tua tidak “turun” kepada anak-anak mereka.
Setiap anggota masyarakat Jawa Aboge memiliki hari Naas yang unik, tergantung pada kapan salah satu atau kedua orang tuanya meninggal. Jika orang tuanya masih hidup, individu tersebut tidak memiliki hari Naas.
Masyarakat percaya bahwa pada hari Naas, seseorang berada dalam kondisi yang paling lemah dan rentan terhadap kesialan. Oleh karena itu, mereka sangat dianjurkan untuk tidak melakukan aktivitas penting seperti bercocok tanam, membangun rumah, atau melangsungkan pernikahan pada hari tersebut.
Kesakralan hari Naas harus dihormati agar terhindar dari nasib buruk di kemudian hari. Sebagai contoh, jika seseorang bernama A memiliki orang tua yang meninggal pada hari Minggu Kliwon, maka setiap kali hari Minggu Kliwon tiba, A dilarang untuk melakukan kegiatan penting.
Segala sesuatu yang dilakukan pada hari Naas diyakini akan membawa kesialan, entah dalam bentuk kegagalan panen, masalah dalam pernikahan, atau gangguan kesehatan.
Baca: Misteri dan Makna di Balik Ritual Nyobeng Dayak Bidayuh
Masyarakat Jawa Aboge meyakini bahwa melanggar pantangan hari Naas dapat membawa dampak buruk yang sangat nyata dalam kehidupan seseorang. Mereka yang tidak mematuhi aturan ini mungkin akan merasa resah, doanya sulit terkabul, dan kehidupannya terganggu oleh berbagai masalah.
Keyakinan ini didasarkan pada pengalaman panjang dari generasi ke generasi, di mana mereka yang melanggar kesakralan hari Naas sering mengalami kesialan.
Sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi ini, warga desa biasanya saling mengingatkan jika ada yang tanpa sadar melakukan aktivitas pada hari Naas.
Jika pelanggaran tersebut terlanjur terjadi dan individu tersebut mengalami dampak negatif, mereka akan menemui sesepuh desa untuk mencari tahu kesalahan yang dilakukan.
Sesepuh desa akan memeriksa waktu pelaksanaan aktivitas sebelumnya dan memberikan solusi yang diperlukan, seperti melakukan ulang kegiatan pada hari baik.
Misalnya, jika seseorang melanggar hari Naas saat menanam padi, maka padi yang sudah ditanam akan dicabut dan ditanam ulang pada waktu yang lebih tepat.
Begitu pula, jika ada yang membangun rumah pada hari Naas, bagian penting rumah, seperti penyangga atap, akan dibongkar dan diganti dengan yang baru pada hari yang dianggap baik.
Tradisi ini terus hidup dan dipelihara oleh masyarakat Jawa Aboge hingga hari ini, menunjukkan betapa dalamnya pengaruh budaya dan keyakinan dalam mengatur kehidupan sehari-hari mereka.