KOROPAK.CO.ID – Masyarakat Banyumas, sebuah kawasan yang kaya akan budaya dan tradisi di Jawa Tengah, telah menjaga dan melestarikan warisan budayanya yang panjang dan beragam.
Sejak mencapai puncaknya pada tahun 1980-an, kesenian dan tradisi rakyat di Banyumas tetap resistan terhadap perubahan zaman. Di antara tradisi yang masih hidup hingga kini adalah Tradisi Cowongan, sebuah ritual yang dilakukan oleh masyarakat Banyumas dan Cilacap untuk memohon hujan.
Tradisi Cowongan lahir dari kebutuhan mendesak masyarakat akan air, terutama saat kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan. Dalam kondisi seperti ini, tidak hanya kebutuhan manusia yang terancam, tetapi juga tanaman pertanian yang berpotensi gagal panen.
Ritual Cowongan menjadi harapan bagi masyarakat untuk mengundang hujan agar kehidupan kembali pulih. Cerita di balik tradisi ini bermula dari usaha seorang suami istri, Ki Jayaraga dan Nyi Jayaraga, yang melakukan tirakat selama 40 hari 40 malam.
Usaha mereka membuahkan hasil ketika mereka menerima wangsit untuk mengambil siwur, sebuah gayung dari tempurung kelapa, di rumah seorang warga yang dihuni oleh tiga janda.
Siwur tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Nini Cowong, meminta untuk didandani dan menari sambil menyanyikan lagu “Siwur Tukung.” Keajaiban terjadi, dengan turunnya hujan selama tujuh hari tujuh malam setelah ritual tersebut dilakukan.
Tradisi Cowongan kini menjadi ritual yang sarat dengan makna, di mana pelaksanaannya menggunakan siwur yang dihias cantik menyerupai putri. Kata “Cowongan” sendiri berasal dari istilah “cowang coweng,” yang berarti corat-coret di wajah cowong, boneka yang digunakan dalam ritual ini.
Hal unik dari ritual Cowongan adalah bahwa hanya wanita suci yang dapat memerankan peran utama. Mereka harus dalam keadaan suci, tidak sedang haid, nifas, atau baru saja berhubungan seksual.
Baca: Berkenalan dengan Begalan, Tradisi Pernikahan Banyumasan
Biasanya, ritual ini melibatkan empat penari yang menari mengelilingi siwur. Selain penari, terdapat juga pawang yang berfungsi mengatur jalannya ritual dan mengucapkan mantra-mantra yang diperlukan.
Sebelum ritual dimulai, pawang dan cowong biasanya melakukan meditasi selama tiga hari di tempat yang sepi untuk mempersiapkan diri, sehingga cowong dapat berfungsi sebagai media untuk berinteraksi dengan makhluk halus.
Ritual Cowongan biasanya dilaksanakan pada akhir masa kapat, periode penutup musim kemarau menurut sistem kalender pertanian Jawa, yang berlangsung dari 18 September hingga 12 Oktober.
Pelaksanaan Cowongan dilakukan pada malam hari, biasanya setelah waktu salat isya hingga sekitar pukul 22.00. Dalam praktiknya, ritual ini dilakukan dengan hitungan ganjil – 1, 3, 5, atau 7 kali.
Apabila hujan belum turun setelah satu kali ritual, maka Cowongan akan dilaksanakan lagi dalam hitungan selanjutnya hingga tujuan tercapai. Lagu-lagu yang dinyanyikan selama ritual adalah doa-doa yang dipanjatkan untuk memohon hujan.
Seiring berjalannya waktu, Tradisi Cowongan tidak hanya menjadi ritual suci tetapi juga telah bertransformasi menjadi kesenian khas yang memadukan gerak dan lagu dengan iringan musik.
Ini menunjukkan betapa masyarakat Banyumas berhasil beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensi dari tradisi yang telah ada selama berabad-abad.
Dengan demikian, Tradisi Cowongan menjadi simbol ketahanan budaya Banyumas, yang tetap bertahan dan berfungsi tidak hanya sebagai ritual, tetapi juga sebagai bentuk ekspresi seni yang merayakan hubungan antara manusia dan alam.