KOROPAK.CO.ID – Sri Wahyaningsih, seorang ibu rumah tangga berusia 42 tahun, mengambil langkah berani untuk meninggalkan pekerjaannya setelah sering mendapatkan protes dari anaknya, yang menuduhnya sebagai “orangtua yang tidak bertanggung jawab”.
Keputusan ini tidak menjadikannya diam; di rumahnya yang terletak di kampung Nitiprayan, perbatasan antara Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta, Wahya, sapaan akrabnya, mulai aktif terlibat dalam berbagai aktivitas sosial dan pendidikan untuk komunitas sekitar.
Sebagai seorang ibu, Wahya tidak hanya berperan di rumah, tetapi juga aktif dalam komite sekolah sebagai perwakilan orangtua murid.
Keterlibatannya di Komite Sekolah memberikan angin segar bagi Sekolah Dasar (SD) Kanisius Kumendaman, yang terancam tutup akibat jumlah murid yang menurun drastis. Dengan semangatnya, ia berupaya menghidupkan kembali semangat belajar di sekolah tersebut.
Namun, perjalanan tidak selalu mulus. Wahya menghadapi tantangan ketika anak keduanya, Krido Bramantyo, yang kini berusia 12 tahun, memutuskan untuk mogok sekolah karena merasa tidak nyaman dengan lingkungan belajar.
Krido dikenal sebagai anak yang kritis, suka bertanya, dan tidak bisa duduk diam di kelas, sifat yang sering disalahartikan sebagai kenakalan.
Dengan rambut gondrong yang menjadi perhatian guru, Wahya akhirnya memindahkan Krido ke SD Kanisius Kumendaman, meskipun sekolah tersebut sedang mengalami penurunan jumlah murid.
Dengan kreativitas dan keterbatasan sumber daya, Wahya bersama sejumlah orangtua murid dan guru mulai merombak SD Kanisius Kumendaman. Mereka melakukan restrukturisasi ruang kelas, menghias perpustakaan, dan mengundang seniman untuk melukis mural yang indah.
Baca: Mengenal Paksi Raras Alit, Seniman Multitalenta dari Yogyakarta
Kegiatan ekstrakurikuler pun dihidupkan kembali, termasuk musik gamelan, tari tradisional, dan teater, memperkenalkan berbagai seni kepada anak-anak.
Berbekal latar belakang sebagai aktivis pendidikan dan pengalaman dalam pendampingan masyarakat, Wahya telah mengembangkan inisiatif pendidikan alternatif yang mengedukasi anak-anak.
Dia juga mendirikan Sanggar Anak Alam (SALAM) di desa sebelumnya, yang awalnya berfokus pada pendidikan pertanian bagi anak-anak.
SALAM tidak hanya melibatkan anak-anak, tetapi juga remaja dan orang dewasa melalui pelatihan keterampilan, seperti pertukangan dan menjahit, serta pertanian organik.
Wahya berkomitmen untuk mempromosikan pendidikan lingkungan dan pertanian organik di kalangan anak-anak. Di samping itu, ia juga aktif dalam mendirikan Koperasi Karya Adi Nastiti, yang fokus pada simpan pinjam dan pengadaan sembako.
Koperasi ini bekerja sama dengan organisasi non-pemerintah Habitat Kemanusiaan untuk memberikan kredit murah bagi kepemilikan dan renovasi rumah bagi masyarakat kurang mampu.
Aktivitas dan inisiatif Wahya mendapat perhatian positif dari pemerintah setempat. Lurah dan Bupati Bantul, Idham Samawi, yang peduli terhadap pendidikan, meminta Wahya untuk membuka dua sanggar baru di lokasi berbeda, menunjukkan pengakuan atas dedikasinya.
Dengan semangat dan komitmennya terhadap pendidikan dan masyarakat, Sri Wahyaningsih layak disebut sebagai seorang social entrepreneur yang inspiratif, mengubah tantangan menjadi peluang untuk meningkatkan kualitas hidup dan pendidikan di komunitasnya.