KOROPAK.CO.ID – Dalam prosesi pernikahan tradisional, umumnya seorang pria yang melamar perempuan di hadapan keluarganya. Namun, di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, inisiatif lamaran berada di pihak perempuan, sebuah kebiasaan unik yang menambah kekayaan budaya lokal.
“Tradisi ini hanya ditemukan di Lamongan, itu pun terbatas di pesisir pantai serta beberapa wilayah di Tuban, bukan di semua wilayah Lamongan,” jelas Lusinah, seorang warga, dalam wawancara dengan Merdeka.
Lusinah menjelaskan bahwa dalam tradisi ini, pengantin perempuan beserta keluarganya akan mengambil langkah pertama dengan mengajukan lamaran kepada keluarga pria.
Dalam beberapa kasus, pihak perempuan bahkan membawa seserahan berharga, seperti sepeda motor, sebagai simbol kesungguhan mereka. Setelah lamaran dilakukan, keluarga pria kemudian membalas kunjungan sambil memberikan jawaban atas lamaran tersebut.
Jika pihak pria tidak segera memberikan balasan, utusan dari keluarga perempuan mungkin akan mendesak mereka untuk memberikan jawaban. Setelah kedua belah pihak menyetujui lamaran, mereka kemudian menyepakati waktu pernikahan.
“Setelah semuanya saling setuju, baru kedua pihak menentukan hari pernikahannya,” kata Luluk Oktavia, seorang peneliti dari Universitas Airlangga, dalam kajian berjudul Menguak Tradisi Lamaran di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Baca: Makna dan Keindahan Tradisi Lamaran di Toraja
Luluk dan tim melihat bahwa tradisi ini juga mencerminkan nilai-nilai sosial yang menghormati pria sebagai pelindung dan kepala keluarga. Menurutnya, tindakan pihak perempuan yang melamar pihak pria merupakan wujud penghargaan kepada sosok pria yang dianggap mampu menjaga dan mengayomi keluarga.
Di sisi lain, ketika pihak perempuan mengajukan lamaran dengan seserahan, maka nantinya dalam pernikahan pihak pria diharapkan memberikan mahar yang nilainya lebih besar daripada seserahan tersebut. Dengan demikian, nilai mahar yang tinggi menjadi simbol status sosial yang dihormati dalam masyarakat Lamongan.
Tradisi ini sendiri diyakini memiliki akar sejarah panjang, berasal dari kisah rakyat pada abad ke-17 Masehi, di era pemerintahan Raden Panji Puspokusumo yang memimpin Lamongan antara 1640-1665.
Dikisahkan bahwa Panji Puspokusumo memiliki dua putra kembar, Raden Panji Laras dan Raden Panji Liris, yang dikenal tampan dan gemar menyabung ayam. Pada suatu kesempatan, kedua pangeran ini mengikuti pertandingan sabung ayam di Wirosobo, atau kini dikenal sebagai Kertosono di Nganjuk.
Pesona mereka menarik perhatian dua putri Raja Wirosobo, Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi, yang terpikat pada pandangan pertama. Kedua putri tersebut pun memohon kepada ayahnya untuk melamar kedua pangeran tampan ini.
Walaupun permintaan ini tidak lazim, Raja Wirosobo akhirnya mengabulkannya dan melamar kedua putra Panji Puspokusumo. Sejak saat itu, tradisi perempuan melamar pria mulai diterapkan dan diwariskan dari generasi ke generasi di Lamongan sebagai bagian dari budaya leluhur yang terus dijaga hingga kini.