KOROPAK.CO.ID – Pulau Madura, yang terkenal sebagai tanah santri dengan banyaknya pondok pesantren, sering kali diidentikkan dengan masyarakat yang kental akan tradisi Islam, khususnya Nahdlatul Ulama.
Namun, sejarah mencatat bahwa Pulau Garam ini juga menjadi tempat bersemainya agama Kristen, dengan catatan awal masuknya agama tersebut yang dimulai pada tahun 1932 oleh misionaris dari Probolinggo.
Ahmad Siddiq, seorang dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, menjelaskan bahwa penyebaran agama Kristen di Pulau Madura terjadi melalui berbagai cara, termasuk melalui tokoh-tokoh, komunitas, dan hubungan interpersonal.
Salah satu contohnya adalah sosok Kiai Bakir, seorang tokoh Islam pada masanya, yang menjalin persahabatan dengan Jhohan, seorang tokoh Kristen saat itu.
“Agama Kristen ini awalnya masuk ke Madura melalui Sumenep, sekitar tahun 1923 M, dari Probolinggo,” ungkap Siddiq dalam sebuah wawancara yang dimuat di Media Jatim.
Menurutnya, keberhasilan penyebaran agama Kristen di Madura sangat dipengaruhi oleh kedatangan kolonial Belanda pada abad ke-18, yang menjadikan Sumenep dan Bangkalan sebagai pusat penyebaran agama tersebut.
Dua kabupaten ini menjadi lokasi strategis bagi para misionaris, berkat keberadaan pasukan militer Belanda dan pegawai gereja yang bertugas di wilayah tersebut, memungkinkan adanya proses penginjilan yang lebih efektif.
Baca: Pamekasan, Pusat Budaya dan Sejarah di Pulau Madura
Tokoh-tokoh kunci dalam penyebaran agama Kristen di Madura, seperti Paulus Tosari, pendiri Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), serta Samuel Harthoorn dan J.P. Esser yang berkontribusi dalam penerjemahan Al-Kitab ke dalam bahasa Madura, turut memperkuat jejak sejarah ini.
Menurut Siddiq, dengan berdirinya gereja-gereja resmi di seluruh kabupaten Madura, termasuk Bangkalan, Pamekasan, dan Sampang, komunitas Kristen Madura mulai terlihat jelas. “Di Kabupaten Sampang saja, terdapat sedikitnya 310 umat Kristiani,” jelasnya.
Menariknya, meskipun mereka bernaung di bawah keyakinan yang berbeda, komunitas Kristen Madura masih melestarikan tradisi Islam, seperti tahlilan dan yasinan. Siddiq menekankan bahwa ini menunjukkan adanya ruang untuk hubungan yang inklusif antara kedua belah pihak, terlepas dari perbedaan keyakinan.
Dalam konteks interaksi dengan komunitas Kristen Tionghoa, mereka menunjukkan bahwa jalur perekonomian menjadi salah satu cara untuk membangun kedekatan dengan masyarakat Muslim. Hal ini menciptakan ikatan sosial yang kuat dan saling menghormati meski dalam posisi yang berbeda.
Eko Mulyono, tokoh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Pamekasan, berbagi kisah suka dukanya sebagai bagian dari komunitas minoritas. Ia menegaskan bahwa perbedaan agama tidak menghalangi terciptanya kerukunan.
“Keluarga saya pun tidak semuanya Kristen, ada yang Muslim. Namun, kami sudah berkomitmen untuk saling menghargai satu sama lain,” katanya.
Dengan berjalannya waktu, Pulau Madura menunjukkan bahwa keragaman dapat menjadi kekuatan. Melalui interaksi dan saling menghormati, umat Kristen dan Muslim di Madura terus berusaha membangun kehidupan harmonis di tengah perbedaan, menciptakan sejarah baru bagi pulau yang kaya akan tradisi dan budaya ini.