Muasal

Misteri Mitos Wayang Kulit dan Tradisi Apitan di Kalipancur

×

Misteri Mitos Wayang Kulit dan Tradisi Apitan di Kalipancur

Sebarkan artikel ini
Misteri Mitos Wayang Kulit dan Tradisi Apitan di Kalipancur
Doc. Foto: Ilustrasi/Wahana Media

KOROPAK.CO.ID – Wayang Kulit telah lama menjadi warisan budaya Nusantara, khususnya dari kebudayaan Jawa, yang memadukan seni pertunjukan dengan nilai-nilai kepercayaan masyarakat setempat. Salah satu tradisi yang erat kaitannya dengan wayang kulit adalah tradisi Apitan dari Semarang, Jawa Tengah.

Di Kelurahan Kalipancur, Kecamatan Ngaliyan, tradisi Apitan ini dilakukan sebagai upaya tolak bala atau pencegahan bencana, yang dipercayai mampu menghindarkan masyarakat dari musibah, terutama wabah penyakit atau pagebluk.

Puncak acara Apitan selalu dimeriahkan dengan pertunjukan wayang kulit yang dianggap wajib. Seiring waktu, berkembang dua narasi mitos yang menjelaskan latar belakang dan tujuan pertunjukan ini.

Versi Pertama

Menurut mitos pertama, pertunjukan wayang kulit dimaksudkan untuk meredam amarah dhayang atau penjaga kampung, yang akan mengirimkan pagebluk jika prosesi Apitan tak disertai pertunjukan tersebut.

Masyarakat setempat percaya bahwa ada dua sosok dhayang yang menjaga kampung: Mbah Pathok, yang dianggap membuka lahan persawahan di daerah Kalipancur, dan Nyai Lekor, yang memiliki petilasan berupa Sendang Pancuran, sumber air utama wilayah tersebut.

Pada tahun 1980-an, ketika pertunjukan wayang kulit sempat absen dalam tradisi Apitan, banyak warga yang mendadak jatuh sakit dan meninggal, dan peristiwa ini diyakini sebagai amarah para dhayang.

Baca: Mitos Rabun Senja dan Asal Usul Perseteruan Dua Raja

Versi Kedua

Di sisi lain, mitos kedua memberikan pandangan yang lebih rasional. Dalam versi ini, pagebluk yang menyerang masyarakat Kalipancur disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang kebersihan, terutama di kalangan masyarakat agraris dan peternak.

Pada tahun 1980-an, wilayah ini mengalami wabah penyakit seperti demam berdarah dan tifus yang menyebar luas, sehingga banyak warga meninggal dalam kurun waktu singkat.

Menurut pandangan ini, pertunjukan wayang kulit hanyalah salah satu cara bagi masyarakat untuk mencegah pagebluk dengan cara simbolis dan memperkuat persatuan antarwarga dalam menghadapi situasi sulit.

Meskipun mitos memiliki beragam versi, masyarakat Kalipancur tetap melestarikan tradisi Apitan dan pertunjukan wayang kulit ini hingga kini.

Selain dianggap sebagai sarana tolak bala, pertunjukan wayang kulit dalam tradisi Apitan telah menjadi medium bagi warga untuk menjaga hubungan sosial, mempererat silaturahmi, dan menghormati warisan leluhur yang mengandung nilai spiritual serta nilai seni yang tak ternilai.

error: Content is protected !!