KOROPAK.CO.ID – Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo adalah salah satu tokoh militer terkemuka di Indonesia, yang kariernya mencatatkan berbagai prestasi penting dalam perjalanan sejarah bangsa.
Lahir pada 25 Juli 1925 di Desa Pangenjuru, Purworejo, dari keluarga pegawai negeri sipil (PNS) pada masa pemerintahan Belanda, Sarwo Edhie menunjukkan sikap tegas sejak usia muda, meskipun berasal dari keluarga bangsawan.
Sarwo Edhie memulai perjalanan hidupnya dengan cikal bakal yang sederhana namun penuh semangat. Nama “Edhie” yang diberikan oleh orangtuanya, diperoleh setelah ia sering sakit-sakitan. Kemudian, sebagai simbol harapan akan kewibawaan, orangtuanya menambahkannya menjadi Sarwo Edhie.
Meskipun lahir dari darah bangsawan, ia tumbuh di tengah masyarakat biasa, belajar ilmu bela diri, dan memiliki kecintaan pada olahraga tradisional.
Saat Indonesia dikuasai Jepang pada 1942, Sarwo Edhie mendaftar sebagai prajurit Pembela Tanah Air (PETA). Namun, ia kecewa dengan tugas yang diberikan, yang hanya terbatas pada pekerjaan ringan.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Sarwo Edhie bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), meskipun upayanya membentuk batalion pertama gagal.
Temannya sesama pejuang, Ahmad Yani, lantas mengajak Sarwo Edhie bergabung dengan Batalion di Magelang yang membawanya pada karier militer yang cemerlang.
Sarwo Edhie memulai karier militernya dengan menjadi Komandan Batalion di Divisi Diponegoro, yang dilanjutkan dengan jabatan Komandan Resimen Divisi Diponegoro pada 1951-1953.
Sebagai salah satu tokoh sentral dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI), ia juga menjabat Wakil Komandan Resimen Akademi Militer Nasional (AMN) dan Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (RPKAD).
Pada 1964, Sarwo Edhie diangkat sebagai Komandan RPKAD yang kemudian menjadi cikal bakal Kopassus, pasukan elit Indonesia.
Baca: Kisah Sang Jenderal TNI Pertama, Raden Oerip Soemohardjo
Sarwo Edhie mencatatkan sejarah emas dalam penumpasan Gerakan 30 September (G30S) pada 1965. Pada 1 Oktober 1965, sekelompok pasukan yang tidak dikenal menculik enam jenderal dan menduduki berbagai titik penting di Jakarta.
Saat situasi semakin memanas, Sarwo Edhie dan RPKAD diperintahkan untuk mengamankan Jakarta dan merebut kembali tempat-tempat strategis yang dikuasai oleh kelompok tersebut.
Pasukan Sarwo Edhie berhasil merebut gedung RRI dan telekomunikasi, dan pada 2 Oktober 1965, ia memimpin penyerbuan Pangkalan Udara Halim, tempat di mana para jenderal yang diculik disembunyikan.
Keberhasilan ini menempatkan Sarwo Edhie sebagai salah satu tokoh utama dalam menggagalkan Gerakan 30 September. Setelah penumpasan G30S, Sarwo Edhie menjadi salah satu penggerak utama dalam transisi kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pada 11 Maret 1966, setelah protes besar dari mahasiswa dan gerakan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), Sarwo Edhie dan pasukannya mengepung Istana Presiden Soekarno dan memaksa Presiden untuk menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto melalui surat Supersemar.
Peran Sarwo Edhie dalam peristiwa ini tak terbantahkan, ia menjadi salah satu pilar penting dalam proses jatuhnya Soekarno dan naiknya Soeharto sebagai penguasa Indonesia.
Sarwo Edhie menikah dengan Sunarti Sri Hadiyah, dan dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai tujuh anak, termasuk Kristiani Herrawati, ibu negara Indonesia yang menikah dengan Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, serta Pramono Edhie Wibowo, mantan Kepala Staf Angkatan Darat.
Setelah pensiun dari dunia militer, Sarwo Edhie terus berkontribusi dalam berbagai sektor, termasuk sebagai Gubernur Akademi Militer (AKABRI). Ia meninggal dunia pada 9 November 1989 pada usia 64 tahun, dan dimakamkan di kampung halamannya, Purworejo, Jawa Tengah.
Sarwo Edhie Wibowo dikenang sebagai sosok yang berani, tegas, dan penuh dedikasi kepada bangsa dan negara. Melalui keberaniannya, ia turut mewarnai sejarah militer Indonesia dan menjadi bagian dari perubahan besar yang membentuk Indonesia modern.