KOROPAK.CO.ID – Pulau Lombok, yang terletak di Nusa Tenggara Barat, tak bisa dipisahkan dari Suku Sasak, penghuni asli pulau tersebut. Suku Sasak bukan hanya dikenal melalui nama suku dan bahasa yang mereka gunakan, tetapi juga melalui tradisi tenun yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan mereka.
Keahlian menenun ini bukan hanya sekadar kerajinan tangan, tetapi juga sebuah identitas budaya yang sarat akan filosofi dan makna mendalam. Tradisi menenun di Lombok sudah ada sejak abad ke-14, di mana kain tenun songket dan rang-rang (ikat) menjadi dua jenis tenun yang paling umum.
Menurut Gani et al. (2023), kerajinan tenun ini tak hanya sekadar warisan seni, tetapi juga bagian dari kehidupan spiritual dan sosial Suku Sasak. Kain tenun bukan hanya sekadar pakaian, tetapi merupakan simbol perjalanan hidup seseorang—dari kelahiran, pernikahan, hingga kematian.
Secara etimologis, nama “Sasak” berasal dari kata “sak-sak,” yang berarti satu per satu, merujuk pada proses menenun itu sendiri. Dalam bahasa Sasak, kata “tesesek” memiliki arti “menenun,” yang menggambarkan hubungan erat antara suku ini dan seni tenun.
Proses tenun itu sendiri dilakukan dengan memasukkan benang satu per satu, lalu disesakkan atau dirapatkan menjadi kain. Suara yang terdengar ketika alat tenun dipukul pun mengingatkan kita pada kata “sak-sak,” yang semakin mempererat hubungan budaya ini.
Tenun ikat banyak dijumpai di Lombok Timur, khususnya di Desa Kembang Kerang dan Desa Pringgasela, sementara tenun songket lebih berkembang di Lombok Barat dan Lombok Tengah.
Namun, meskipun tenun songket dari daerah lain sering dihiasi dengan benang emas dan perak, kain tenun Lombok justru menggunakan benang katun dengan warna-warna cerah yang mencerminkan kekayaan alam serta kehidupan masyarakat setempat.
Secara filosofis, kain tenun Lombok menjadi simbol dari fase kehidupan masyarakat Sasak. Kain ini hadir dalam berbagai upacara adat, seperti syukuran puput pusar bayi (peraq api), upacara cukur rambut pertama pada bayi (berkuris), hingga prosesi pernikahan, yang mengiringi perjalanan hidup manusia dari lahir hingga meninggal.
Bahkan, kain umbaq, kain bermotif garis-garis yang digunakan untuk menggendong anak, menjadi simbol kasih sayang dan harapan orang tua kepada anak-anak mereka. Kain ini, setelah si anak dewasa, akan disimpan sebagai kenangan sepanjang hayat.
Baca: Suku Sasak dan Tradisi “Kawin Lari” yang Unik
Selain sebagai simbol, kemampuan menenun juga menjadi ukuran kedewasaan bagi wanita Sasak. Seorang wanita yang sudah bisa menenun dianggap siap untuk berumah tangga.
Keahlian ini pun menjadi bagian penting dari tradisi Sasak, di mana setiap wanita diharapkan untuk menjaga dan melestarikan keahlian ini. Namun, di tengah kemajuan zaman dan modernitas, keberadaan kain tenun Lombok semakin tergerus oleh zaman, dan tradisi ini mulai terlupakan oleh generasi muda.
Hal ini sangat disayangkan, karena kain tenun Sasak bukan hanya memiliki nilai budaya yang tinggi, tetapi juga potensi ekonomi yang besar.
Jika dilestarikan dan dikembangkan, tenun Sasak dapat menjadi aset yang bernilai tinggi, yang tidak hanya memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat, tetapi juga menjaga kelangsungan tradisi dan budaya lokal.
Pulau Lombok, yang sudah memiliki geopark dunia di Gunung Rinjani, sirkuit balap Mandalika, dan menjadi salah satu Destinasi Super Prioritas (DSP), memiliki potensi besar untuk mengintegrasikan seni tenun Sasak dengan sektor pariwisata.
Jika semua potensi ini digarap dengan baik, manfaatnya akan dirasakan tidak hanya oleh wisatawan yang berkunjung, tetapi juga oleh masyarakat setempat.
Pelestarian seni tenun Sasak dapat menjadi sarana pemberdayaan masyarakat, dengan menjadikannya sebagai produk bernilai jual tinggi yang memajukan ekonomi lokal.
Modernitas memang membawa banyak perubahan dan kemudahan, namun bukan berarti kita harus melupakan jati diri dan warisan budaya. Budaya adalah wajah dari identitas manusia, sementara modernitas hanya alat untuk mempermudah hidup.
Kita harus memastikan bahwa warisan budaya, seperti kain tenun Lombok, tetap terjaga dan dihargai, agar dapat terus menghubungkan generasi masa depan dengan akar budaya mereka.