KOROPAK.CO.ID – Pada 13 November 1998, tepat 26 tahun yang lalu, Indonesia menyaksikan salah satu peristiwa kelam dalam perjalanan reformasi. Peristiwa ini dikenal dengan nama Tragedi Semanggi I, yang terjadi di Jakarta dan meninggalkan bekas yang mendalam dalam sejarah politik negara.
Tragedi ini bermula dari ketegangan yang melanda Indonesia pasca-reformasi. Pemerintahan transisi yang dipimpin oleh BJ Habibie menggelar Sidang Istimewa MPR untuk membahas pemilu yang akan datang dan sejumlah agenda pemerintahan lainnya.
Namun, banyak kalangan, terutama mahasiswa, yang tidak menerima pemerintahan Habibie dan menuntut agar Orde Baru, yang masih memegang banyak kekuasaan, segera dibersihkan.
Mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam gerakan reformasi mendesak agar militer dikeluarkan dari politik dan tuntutan untuk melakukan perubahan drastis terhadap sistem yang sudah lama tertanam.
Demonstrasi besar-besaran pun terjadi di berbagai kota, khususnya Jakarta, yang menjadi pusat Sidang Istimewa tersebut. Tindakan tegas dari aparat semakin memperburuk situasi dan menambah tensi yang sudah memuncak.
Pada 13 November 1998, mahasiswa dan masyarakat yang bergabung dalam aksi protes bergerak menuju kawasan Semanggi, di sekitar Universitas Atma Jaya, Jakarta. Aparat keamanan, dengan dukungan kendaraan lapis baja, menghadang massa di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman.
Di tengah kerumunan yang semakin besar, aparat mulai melakukan tindakan represif untuk membubarkan demonstrasi tersebut. Sekitar pukul 15:00 WIB, penembakan membabi buta terjadi ketika ribuan mahasiswa duduk di jalan, berusaha menahan aksi represif yang dilakukan aparat.
Baca: Mengenang 26 Tahun Reformasi dalam Tragedi Semanggi I
Teddy Mardani, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia, menjadi korban pertama yang meninggal dunia pada hari itu. Tak lama setelahnya, Bernardus Realino Norma Irmawan, atau yang akrab disapa Wawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya, juga tertembak di dadanya ketika ia mencoba menolong rekannya yang terluka.
Penembakan terus berlanjut hingga malam hari, dengan banyak mahasiswa dan masyarakat yang terluka, sementara gelombang massa terus berdatangan untuk bergabung dengan para demonstran yang sudah ada.
Peristiwa ini meninggalkan luka mendalam dengan total korban tewas yang mencapai 17 orang, termasuk mahasiswa, pelajar, wartawan, dan masyarakat umum, serta lebih dari 450 orang lainnya yang menderita luka-luka.
Di antara korban yang tewas adalah Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), dan Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), serta beberapa nama lainnya yang turut kehilangan nyawa dalam tragedi tersebut.
Yang paling memilukan adalah nasib Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, yang terkena peluru nyasar di kepala, menggambarkan betapa tidak terkendalinya kekerasan yang terjadi di tengah protes tersebut.
Tragedi Semanggi I bukan hanya menjadi simbol perlawanan terhadap rezim Orde Baru, tetapi juga menunjukkan tingginya biaya yang harus dibayar oleh rakyat Indonesia dalam memperjuangkan reformasi dan perubahan.
Kejadian ini menjadi tonggak penting dalam sejarah Indonesia, mengingatkan kita tentang pentingnya memperjuangkan keadilan, kebebasan, dan hak asasi manusia dengan cara yang damai dan penuh penghormatan terhadap sesama.