KOROPAK.CO.ID – Tembe, kain tenun tradisional khas Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, adalah salah satu contoh seni kriya Indonesia yang memiliki sejarah panjang dan mendalam.
Sebagai produk budaya dari suku Mbojo, tembe bukan hanya sekadar kain, tetapi juga saksi perjalanan panjang peradaban manusia di Bima. Kain ini telah ada sejak era Ncuhi (prakerajaan) pada abad ke-7 Masehi, sebagaimana tercatat dalam sejarah yang dipaparkan oleh Rosandini (2014).
Bahkan, dalam catatan Kitab Negarakertagama dan penjelajah Portugis, Tome Pires, disebutkan bahwa tembe telah menjadi komoditas yang diperdagangkan di Bima sejak abad ke-12 Masehi, era Kerajaan Kediri.
Seiring berjalannya waktu, tembe mengalami evolusi, terutama sejak pengaruh agama Islam masuk ke Bima pada abad ke-17. Akibat perjanjian Bongaya (1667) antara Kerajaan Gowa dan VOC, serta eksodus orang Bugis ke Bima, budaya Islam mulai mempengaruhi masyarakat Mbojo.
Perubahan ini mendorong terjadinya akulturasi, baik dalam budaya maupun agama, yang pada gilirannya mempengaruhi perkembangan motif dan pemakaian tembe.
Sejak saat itu, masyarakat Bima mengenal berbagai gaya pemakaian tembe, seperti katente untuk pria dan rimpu untuk wanita, dengan motif yang didominasi gambar bunga dan bangun geometri, bukan lagi gambar hewan atau manusia.
Motif tembe, yang memiliki unsur etnomatematika, seperti segitiga (nggusu tolu) dan segiempat (nggusu upa), mengandung nilai budaya yang kaya.
Kain ini juga terkenal dengan warna-warna alami yang dihasilkan dari tumbuhan, seperti kesumba untuk merah, cudrania untuk hijau, dan indigofera untuk biru dan ungu.
Baca: Mewarisi Filosofi dan Kehidupan Suku Lombok Melalui Budaya Menenun
Warna-warna tersebut tidak hanya mencerminkan keindahan, tetapi juga memiliki makna simbolis, menunjukkan status sosial, tempat tinggal, atau jabatan seseorang dalam masyarakat Bima.
Dalam masyarakat kerajaan Bima, misalnya, tembe sengge berwarna hitam sering dikenakan oleh masyarakat pegunungan, sedangkan tembe bako merah dipakai oleh kalangan perkotaan dan bangsawan.
Tembe yang dikenakan oleh kaum bangsawan bahkan dihiasi dengan benang perak atau emas, menandakan kedudukan mereka yang tinggi. Sementara itu, tembe biru digunakan oleh pejabat istana sebagai simbol kesetiaan dan kejujuran.
Proses pembuatan tembe secara tradisional, yang melibatkan penanaman kapas, pengolahan menjadi benang, hingga menenun kain, menunjukkan betapa dalamnya keterampilan dan pengetahuan yang diwariskan turun-temurun dalam masyarakat Bima.
Meskipun saat ini sebagian besar proses pembuatan tembe telah digantikan oleh teknologi tekstil modern, warisan budaya ini tetap eksis dan dilestarikan.
Tembe adalah lambang dari keberagaman budaya dan agama yang mengalir dalam kehidupan masyarakat Bima. Dari zaman ke zaman, tembe terus berkembang dan menjadi simbol penting dalam identitas suku Mbojo.
Di tengah kemajuan zaman, keberadaan tembe tetap mencerminkan kebanggaan akan warisan budaya yang kuat dan mampu bertahan sepanjang sejarah peradaban manusia di Bima.