KOROPAK.CO.ID – Indonesia, dengan ribuan pulau dan keberagaman suku bangsa, dikenal dunia sebagai negara dengan kekayaan bahasa daerah terbanyak. Dengan lebih dari 700 bahasa yang hidup di nusantara, Indonesia menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang kebudayaan yang terukir dalam setiap ragam bahasa.
Namun, di balik keberagaman tersebut, ada satu bahasa daerah yang kini terancam punah, yaitu bahasa Gayo.
Bahasa Gayo, yang digunakan oleh masyarakat suku Gayo di daerah Daratan Tinggi Gayo, terletak di bagian utara Pulau Sumatra, khususnya di wilayah Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Sebagai salah satu warisan budaya asli Aceh, bahasa ini bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga simbol identitas dan tradisi yang harus dilestarikan.
Bahasa Gayo, yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Austronesia, berasal dari sebuah pohon bahasa besar yang mencakup banyak bahasa yang tersebar dari Madagaskar hingga Polinesia. Dalam subkelompok bahasa Melayu-Polinesia, bahasa Gayo terbilang sebagai salah satu cabang yang menurun dari bahasa Sumatra Barat Laut.
Meskipun tidak ada catatan tertulis yang menjelaskan asal-usulnya, para ahli meyakini bahwa bahasa ini telah berkembang sejak ribuan tahun lalu, bersamaan dengan proses migrasi dan penyebaran kebudayaan Austronesia di Indonesia.
Sebagaimana halnya dengan bahasa lainnya, bahasa Gayo pun memiliki beragam dialek, yang tercermin dari perbedaan geografi dan pengaruh kebudayaan luar.
Beberapa dialek yang ada di antaranya adalah Dialek Sarah Raja yang dituturkan di Aceh Utara, Dialek Gayo Lut yang terbagi lagi menjadi sub-dialek Lut dan Deret yang digunakan di Aceh Tengah dan Bener Meriah, hingga Dialek Blang yang dijumpai di Gayo Lues.
Baca: Hindari Kepunahan, Bahasa Gayo Aceh Akan Direvitalisasi
Meski begitu, perbedaan ini tidak menjadi halangan bagi penutur bahasa Gayo untuk berkomunikasi, karena tak ada perubahan mendalam pada kosa kata atau makna. Bahasa Gayo bukan hanya soal berkomunikasi, melainkan juga mencerminkan nilai-nilai sosial yang mendalam, seperti rasa hormat dan kesopanan.
Sebagai contoh, dalam bahasa Gayo, ada perbedaan kata untuk menyapa yang lebih tua atau lebih muda, seperti kata “ko” untuk menyapa yang lebih muda dan “kam” yang lebih sopan untuk percakapan sehari-hari. Hal ini menunjukkan bagaimana bahasa Gayo mengajarkan tata krama dan penghormatan dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagai bahasa yang terancam punah, usaha pelestarian bahasa Gayo telah dilakukan melalui pendidikan formal dan non-formal di wilayah Aceh. Beberapa sekolah telah memasukkan bahasa Gayo ke dalam kurikulum, sementara komunitas dan organisasi kebudayaan aktif menggelar festival serta kegiatan lain untuk menjaga keberadaannya.
Namun, meski upaya-upaya tersebut telah dilakukan, bahasa Gayo masih tercatat dalam kategori “terancam punah” oleh SIL Ethnologue, dengan penurunan jumlah penuturnya yang signifikan setiap tahunnya.
Bahasa Gayo adalah bagian tak terpisahkan dari identitas suku Gayo dan kekayaan budaya Aceh. Untuk itu, keberlanjutan dan pelestariannya sangat bergantung pada kesadaran kolektif masyarakat serta generasi muda untuk melestarikannya.
Dengan semakin berkurangnya jumlah penutur asli, bahasa Gayo perlu lebih diperkenalkan dan dihargai oleh masyarakat luas, agar tak terlupakan oleh zaman.
Bahasa Gayo adalah salah satu dari sekian banyak bahasa daerah yang menggambarkan keragaman budaya Indonesia. Keberadaan bahasa ini bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai penjaga warisan sejarah yang harus dijaga dan dilestarikan untuk generasi mendatang.