Seni Budaya

Batik Ciwaringin dan Upaya Menjaga Tradisi di Tengah Modernisasi

×

Batik Ciwaringin dan Upaya Menjaga Tradisi di Tengah Modernisasi

Sebarkan artikel ini
Batik Ciwaringin dan Upaya Menjaga Tradisi di Tengah Modernisasi
Doc. Foto: antaranews.com

KOROPAK.CO.ID – Batik Ciwaringin, yang berasal dari Kabupaten Cirebon, masih mempertahankan eksistensinya hingga saat ini, meskipun telah ada sejak tahun 1940-an. Dikenal karena menggunakan bahan pewarna alami, batik ini tetap menjaga warisan budaya yang kaya, bahkan di tengah arus modernisasi.

Batik Ciwaringin pertama kali berkembang di lingkungan pesantren, tepatnya di Pondok Pesantren Raudlotul Tholibin di Babakan Ciwaringin. Menurut penelitian yang dimuat dalam jurnal budaya Universitas Pendidikan, batik ini pada awalnya terinspirasi oleh santri asal Lasem, Rembang, dan kemudian berkembang menjadi produk khas pesantren.

Motif-motif batik Ciwaringin banyak mengambil inspirasi dari alam sekitar, seperti tumbuhan, sungai, dan elemen-elemen alam lainnya. Salah satu motif khas yang terkenal adalah polawit ngrambat, yang menggambarkan dedaunan merambat yang menjuntai, mencerminkan kehidupan pedalaman yang sederhana dan khas.

Batik ini juga menampilkan perbedaan yang mencolok dengan batik Trusmian, yang lebih mengarah pada tema keraton dan kerajaan. Namun, selain nilai estetika, batik Ciwaringin juga mencerminkan perjuangan rakyat Cirebon dalam masa penjajahan.

Salah satu motif yang menggambarkan penderitaan rakyat adalah Tebu Sekeret, yang terinspirasi oleh kelaparan yang melanda warga Cirebon saat itu, ketika pasokan makanan dibatasi oleh pemerintahan Belanda. Warga bertahan hidup dengan menghisap sari tebu untuk mengganjal perut mereka.

Selain itu, batik ini juga menyimbolkan semangat perjuangan para santri melawan penjajah. Motif pecutan yang terdapat pada batik ini menggambarkan tekad para santri yang gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan dan menyebarkan agama Islam. Semangat ini menggambarkan tekad untuk “memecut” semangat para santri dalam melawan penjajahan.

Baca: Mengenal Batik Tokwi: Simbol Budaya Tionghoa di Indonesia

Batik Ciwaringin tetap mempertahankan proses pembuatan secara manual dengan pewarna alami, meskipun menghasilkan warna yang lebih lembut dibandingkan pewarna kimia.

Proses pembuatan yang membutuhkan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk menghasilkan selembar kain sepanjang 2,5 meter menjadikan setiap karya batik ini begitu bernilai.

Para perajin batik, terutama para santri, memanfaatkan bahan-bahan alami dari sekitar pesantren, seperti dedaunan dan batang akar, yang menjadikan batik ini tidak hanya indah, tetapi juga ramah lingkungan.

Hingga kini, meski pewarna alami tidak setajam pewarna kimia, batik Ciwaringin tetap memiliki penggemar yang setia, terutama dari luar negeri, yang menghargai nilai kealamian dalam karya seni. Harga batik ini bervariasi antara Rp500 ribu hingga Rp1,5 juta untuk bahan katun.

Untuk memastikan kelestarian dan pengembangan batik Ciwaringin, dukungan pemerintah dalam hal pendampingan dan permodalan sangat dibutuhkan. Batik Ciwaringin bukan hanya sekadar warisan budaya, tetapi juga simbol perjalanan panjang budaya Indonesia yang terus hidup dan berkembang di tengah arus modernisasi.

error: Content is protected !!