KOROPAK.CO.ID – Sawahlunto, sebuah kota kecil di Sumatera Barat, menyimpan sejarah panjang sebagai pusat tambang batu bara. Sejarah pertambangan ini dimulai pada tahun 1868, saat seorang insinyur Belanda, Willem Hendrik de Greve, menemukan cadangan batu bara di Tambang Ombilin.
Penambangan batu bara secara terbuka dimulai pada 1892, dan pada awal 1900-an, tambang ini menjadi bagian penting dari perekonomian kolonial Belanda. Infrastruktur pendukung seperti Stasiun Sawahlunto, yang menjadi stasiun kereta api kedua di Indonesia, dibangun untuk mengangkut hasil tambang ke berbagai wilayah.
Kini, stasiun bersejarah ini telah dialihfungsikan menjadi Museum Kereta Api, simbol warisan masa lalu yang terus lestari. Meski penambangan terbuka di Sawahlunto berakhir pada 2002 karena cadangan batu bara yang habis, tambang lapisan bawah masih beroperasi hingga 2019.
Saat ini, sebagian besar kawasan bekas tambang telah direvitalisasi menjadi destinasi wisata yang menarik. Namun, kekayaan batu bara Sawahlunto tidak sepenuhnya sirna; seni ukir batu bara kini menjadi ciri khas kota ini.
Di tengah riuhnya cerita tambang, muncul seni ukir batu bara yang menjadi daya tarik tersendiri. Salah satu pelopornya adalah Januri, seorang seniman yang telah berkarya sejak tahun 1990. Dengan kemampuannya memahat batu bara, ia menciptakan berbagai suvenir seperti patung kecil, asbak, dan gantungan kunci.
Baca: Mempertahankan Kearifan Lokal dengan Pekan Budaya Desa Talawi Hilie
Januri menamai usahanya Cindai Coal Art, menjual karya seni melalui toko fisik maupun daring. Harga karyanya bervariasi, mulai dari Rp100.000 untuk asbak hingga Rp4 juta untuk patung-patung besar yang rumit. Seni ukir ini menuntut kesabaran dan ketelitian, mengingat tekstur batu bara yang rapuh serta warna gelapnya yang memerlukan detail ekstra agar terlihat indah.
Di sisi lain, terdapat pengrajin lain bernama Esmanto, yang telah berkarya sejak 2003. Berbeda dari Januri, Esmanto memajang hasil ukirannya di Cendera Lestari, sebuah toko sederhana di rumahnya. Harga karyanya lebih bervariasi, mulai dari Rp50.000 hingga jutaan rupiah, tergantung pada tingkat kesulitan dan ukuran.
Menciptakan ukiran dari batu bara adalah proses yang membutuhkan waktu. Untuk karya sederhana, seperti gantungan kunci, pengerjaan bisa selesai dalam seminggu. Namun, ukiran yang lebih kompleks memerlukan waktu hingga dua bulan. Meski begitu, hasil akhirnya memukau, menjadikan batu bara tidak hanya sebagai simbol sejarah tambang, tetapi juga karya seni bernilai tinggi.
Dengan segala transformasinya, Sawahlunto kini menjadi kota yang merangkul warisan masa lalu sekaligus menciptakan peluang baru. UNESCO telah menetapkan kawasan tambang Ombilin sebagai Situs Warisan Dunia, mempertegas pentingnya kota ini dalam sejarah global. Seni ukir batu bara pun menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Sawahlunto, menghadirkan cerita unik yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini.