Video

Kisah Tenggelamnya 51 Desa di Waduk Gajah Mungkur

×

Kisah Tenggelamnya 51 Desa di Waduk Gajah Mungkur

Sebarkan artikel ini

KOROPAK.CO.ID – Di dasar Waduk Gajah Mungkur, ketika air surut, seakan-akan sejarah terungkap kembali. Nisan makam yang terendam, bekas rumah yang kini hanya tinggal puing, menjadi saksi bisu dari kisah yang tenggelam bersama tanah yang terendam.

Ratusan rumah dan makam itu adalah potongan-potongan ingatan dari desa-desa yang hilang dalam perjalanan besar sebuah proyek yang memutuskan pilihan takdir mereka.

Waduk Gajah Mungkur, yang dibangun di Kabupaten Wonogiri pada 1976, datang dengan harga yang mahal, mengorbankan puluhan desa dan segala kenangan yang ada di dalamnya. Seiring proyek berjalan, 51 desa harus tenggelam, dan sejarah mereka lenyap, disembunyikan oleh air.

Pemerintah, demi kelangsungan proyek, menyiapkan kompensasi Rp100 hingga Rp1.000 untuk setiap tanah yang tenggelam. Seperti takdir yang dipaksakan, sekitar 67.515 jiwa dipindahkan melalui transmigrasi ke Sumatra, meninggalkan jejak tanah leluhur mereka yang kini tak lebih dari kenangan.

Sebagian memilih menolak perubahan dan bertahan di tanah Jawa, meskipun tanpa bantuan. Mereka merangkai hidup di tepian proyek, di daerah yang tidak terendam. hanya keberanian dan tekad untuk tetap berada di tanah yang mereka kenal.

Salah seorang warga mengolah tanah di dasar waduk yang surut, mengenang masa ketika ia dan keluarganya tergusur 47 tahun lalu. Waktu itu, ia masih remaja, menyaksikan teman-teman dan tetangganya pergi, meninggalkan Jawa untuk merantau ke Sumatera mengikuti program transmigrasi yang digagas oleh Presiden Soeharto kala itu.

Baca: Kisah Raden Ayu, Sosok Panglima Perempuan di Balik Sejarah Perang Jawa

Orangtuanya menolak. Mereka merasa tanah Sumatera terlalu jauh dari nenek moyang mereka, dan masa depan yang tak pasti membuat hati mereka ragu. Kini, mereka yang merantau hidup makmur, sementara mereka yang memilih tetap tinggal di Jawa hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian.

Waduk Gajah Mungkur akhirnya mulai terisi air pada Juli 1981 dan diresmikan pada 17 November 1981 oleh Presiden Soeharto. Pembangunan waduk ini menelan biaya sebesar Rp69,5 miliar pada waktu itu.

Waduk ini menjadi tulang punggung irigasi untuk 23.600 hektar lahan pertanian di Sukoharjo, Klaten, Karanganyar, dan Sragen, serta menyuplai listrik melalui PLTA yang dikelola PLN Indonesia Power.

Namun, di balik manfaat besar itu, ada dampak yang tak terelakkan. Tanah yang dulu dipakai bertanam sayur kini diganti dengan sawah, mengakibatkan sedimentasi yang mempercepat kerusakan waduk.

Sedimentasi ini bagaikan luka yang menggerogoti tubuh waduk, mengancam usianya yang diperkirakan hanya bertahan seumur jagung, meskipun seharusnya bisa beroperasi hingga 100 tahun.

Seiring berjalannya waktu, dasar waduk yang semakin terkikis oleh sedimentasi menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang sebuah proyek yang merubah takdir, merenggut kenangan, namun juga menciptakan dam

error: Content is protected !!