KOROPAK.CO.ID – Harry Roesli, lahir pada 10 September 1951 dan meninggal dunia pada 11 Desember 2004, adalah seorang seniman Indonesia yang dikenal sebagai pelopor musik kontemporer yang penuh kritik sosial.
Dengan penampilan khas, berkumis tebal, berjanggut lebat, berambut gondrong, serta berpakaian serba hitam, Harry menonjol tidak hanya sebagai musisi, tetapi juga sebagai pembuat pernyataan yang berani dalam dunia seni.
Pada awal 1970-an, Harry mulai dikenal luas saat membentuk grup musik Gang of Harry Roesli bersama Albert Warnerin, Indra Rivai, dan Iwan A Rachman. Meskipun kelompok musik ini hanya bertahan hingga 1975, kesuksesannya memberi dampak besar pada perkembangan musik di Indonesia.
Pada tahun yang sama, ia juga mendirikan grup teater Ken Arok yang mengusung tema dan kritik sosial yang tajam, salah satunya adalah Opera Ken Arok, yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki pada 1975.
Harry melanjutkan pendidikannya di Belanda pada 1977, setelah mendapat beasiswa di Rotterdam Conservatorium. Di sana, selain belajar musik elektronik, ia juga bekerja sebagai pemain piano di restoran-restoran Indonesia dan bergabung dengan grup band keturunan Ambon.
Pada 1981, Harry meraih gelar Doktor Musik dan kembali ke Indonesia untuk mengajar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung serta Universitas Pasundan Bandung.
Sebagai musisi, Harry terkenal dengan karya-karyanya yang sering mengandung kritik sosial yang tegas. Ia menjadi figur penting dalam mengkritik kekuasaan Orde Baru melalui lirik-lirik yang mengangkat tema ketidakadilan.
Baca: Marah Rusli, Pencetak Tradisi Sastra Indonesia Modern
Tidak hanya itu, ia juga aktif mengembangkan seni teater dan musik dalam bentuk aransemen untuk film dan teater, termasuk untuk Teater Mandiri dan Teater Koma. Bahkan setelah reformasi, beberapa karya musiknya masih berhubungan erat dengan semangat kritik terhadap pemerintah.
Sebagai pendiri Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB), Harry memberi ruang bagi seniman jalanan dan kaum marginal untuk berkreasi. Di rumahnya yang menjadi markas DKSB, ia berperan dalam menghidupkan kembali seni dengan berbagai pementasan dan diskusi politik, terutama pada masa-masa penting menuju reformasi.
Harry adalah cucu dari pujangga besar Minangkabau, Marah Roesli, dan anak bungsu dari empat bersaudara. Ia memulai pendidikan di SMA Negeri 2 Bandung dan sempat belajar di ITB sebelum beralih ke jurusan musik di LPKJ (sekarang IKJ) dan akhirnya ke Belanda.
Harry menikah dengan Kania Perdani Handiman dan memiliki dua anak kembar, Layala Khrisna Patria dan Lahami Khrisna Parana. Harry Roesli meninggal pada 11 Desember 2004, meninggalkan warisan besar dalam dunia musik dan seni Indonesia.
Pada tahun 2008, ia diabadikan oleh majalah Rolling Stone Indonesia sebagai salah satu dari The Immortals: 25 Artis Indonesia Terbesar Sepanjang Masa. Pengaruhnya yang luas tercermin dalam anugerah yang diterimanya, termasuk Anugerah Musik Indonesia dengan kategori Legend Award pada 2017.
Dengan berbagai karyanya yang mendalam dan penuh makna, Harry Roesli tetap dikenang sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah musik dan seni teater Indonesia, yang tak hanya menghibur tetapi juga menyentuh hati dengan kritik sosial yang kuat.