Seni Budaya

Menelusuri Sejarah dan Keunikan Bahasa Ngapak

×

Menelusuri Sejarah dan Keunikan Bahasa Ngapak

Sebarkan artikel ini
Menelusuri Sejarah dan Keunikan Bahasa Ngapak
Doc. Foto: Ilustrasi/GNFI

KOROPAK.CO.ID – Pernahkah Anda mendengar kalimat “Inyong madhang sit”? Meskipun terdengar seperti bahasa Jawa, sebenarnya kalimat tersebut merupakan ungkapan khas dari bahasa Jawa Banyumasan atau dialek ngapak, yang dikenal di wilayah eks-karesidenan Banyumas, Jawa Tengah bagian barat.

Kalimat ini berarti “Aku makan dulu”, dan menandai salah satu ciri khas bahasa Ngapak yang unik.

Bahasa Ngapak adalah dialek Jawa yang termasuk dalam kategori tertua yang masih digunakan, terutama di daerah Banyumas, seperti Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, serta daerah sekitar Kedu, seperti Kebumen dan Wonosobo.

Bahkan, bahasa Ngapak juga ditemukan di sebagian kecil daerah di Jawa Barat, seperti Ciamis dan Kabupaten Pangandaran. Di daerah Pangandaran, bahasa Ngapak berbaur dengan unsur bahasa Sunda, menciptakan varian yang khas.

Menurut Herusasoto (2008), bahasa ini memiliki pengucapan yang unik, dengan ciri utama berupa “blepotan” atau campur aduk yang khas. Bahasa Ngapak juga lebih lugas, tanpa gradasi hierarki dalam pemakaiannya, berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya yang memiliki tiga tingkatan kesopanan: Ngoko, Madya, dan Krama.

Bahasa Ngapak memiliki sejarah panjang yang berhubungan erat dengan sejarah perkembangan bahasa Jawa itu sendiri. Sejak abad ke-9 hingga ke-13, bahasa ini merupakan bagian dari bahasa Jawa Kuno.

Kemudian, pada abad ke-13 hingga abad ke-16, bahasa Ngapak berkembang menjadi bahasa Jawa abad pertengahan, dan berlanjut menjadi bahasa Jawa baru hingga abad ke-20.

Pada abad ke-20, bahasa Ngapak muncul sebagai salah satu dialek bahasa Jawa modern yang masih lestari hingga kini. Sejarah bahasa Ngapak tidak terlepas dari konteks kerajaan-kerajaan Jawa, khususnya Kerajaan Majapahit.

Baca: Bahasa Gayo, Identitas Budaya Aceh yang Terancam Punah

Banyumas, yang dulunya berada di bawah pengaruh Majapahit, memiliki bahasa yang tidak mengenal hierarki, berlawanan dengan kebiasaan bahasa Jawa krama yang tumbuh seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan besar seperti Pajang dan Mataram.

Bahasa Krama, yang dipakai kalangan keraton, memiliki gradasi formal yang mengandung esensi pengekangan emosi, suatu prinsip yang dikembangkan oleh Sultan Hadiwijaya di Kerajaan Pajang.

Wong Banyumasan memilih untuk tetap mempertahankan bahasa mereka yang sederhana, egaliter, dan tidak terikat pada sistem hierarki bahasa. Mereka menolak pengaruh bahasa keraton yang semakin berkembang dan membentuk stratifikasi sosial.

Ada beberapa alasan mengapa masyarakat Banyumas menolak budaya feodal: pertama, wilayah mereka jauh dari pusat kekuasaan kerajaan; kedua, tidak adanya raja yang mendirikan kekeratonan di daerah tersebut; dan ketiga, mereka ingin mempertahankan kebebasan dalam bersikap dan berbicara tanpa dibatasi status sosial.

Pada masa lalu, bahasa Ngapak sempat dianggap kasar atau bahasa rakyat jelata. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, terutama dengan kemunculan selebriti dan konten kreator yang berani berbicara dalam bahasa Ngapak, dialek ini mulai mendapat tempat kembali.

Penggunaan bahasa Ngapak kini tidak hanya menjadi simbol identitas budaya, tetapi juga sebagai cara untuk merayakan kebebasan berbicara dan berinteraksi tanpa batasan status sosial.

Maka, keberadaan bahasa Ngapak saat ini lebih dari sekadar sebuah dialek daerah. Bahasa ini adalah sebuah warisan budaya yang perlu dilestarikan, sebagai cermin dari sejarah panjang dan kearifan lokal masyarakat Banyumas yang tak tergoyahkan.

error: Content is protected !!