KOROPAK.CO.ID – Tercatat 20 tahun silam atau tepatnya pada 26 Desember 2004 lalu, dunia diguncang oleh bencana alam paling mengerikan dalam sejarah modern: tsunami Aceh.
Tragedi ini bermula dari sebuah gempa bumi dahsyat di Samudra Hindia yang memicu gelombang tsunami besar, menghancurkan seluruh garis pantai Aceh dan negara-negara sekitarnya, serta meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah kemanusiaan.
Pada pukul 07:58 WIB, gempa dengan kekuatan luar biasa mengguncang wilayah sekitar 250 kilometer barat daya Aceh. Dengan magnitudo 9,1 hingga 9,3 Skala Richter, gempa ini tercatat sebagai salah satu yang terbesar dalam sejarah.
Pusat gempa berada di dasar laut, dengan kedalaman sekitar 30 kilometer di antara lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia. Pergerakan lempeng ini menghasilkan dorongan besar pada air laut yang kemudian membentuk gelombang tsunami dengan kecepatan mencapai 800 km/jam.
Gelombang ini menghantam pesisir barat Sumatera, termasuk Banda Aceh, Meulaboh, dan wilayah pesisir lainnya di Aceh, serta negara-negara tetangga seperti Thailand, Sri Lanka, India, dan Maladewa. Dalam sekejap, ombak raksasa itu menenggelamkan segalanya di jalurnya.
Korban jiwa yang ditinggalkan sangat besar. Menurut data PBB pada Januari 2005, lebih dari 230.000 orang kehilangan nyawa akibat bencana ini. Di Aceh, lebih dari 167.000 orang tercatat tewas, sementara ribuan lainnya terluka atau hilang.
Tsunami Aceh 2004 tidak hanya menyisakan duka yang mendalam, tetapi juga mendorong perubahan besar dalam kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia. Sebagai respons terhadap kerusakan yang ditimbulkan, pemerintah Indonesia membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias untuk mengelola proses pemulihan daerah yang terdampak.
Baca: Mengenang 19 Tahun Tragedi Gempa dan Tsunami Aceh Pada 26 Desember 2004
Reformasi besar pun dilakukan dalam kebijakan penanggulangan bencana melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Kebijakan ini mengadopsi prinsip-prinsip Kerangka Aksi Hyogo (HFA) yang menekankan pendekatan proaktif untuk mengurangi risiko bencana. Sebagai langkah pencegahan, Indonesia juga mengembangkan sistem peringatan dini tsunami di Samudra Hindia.
Sistem ini, yang melibatkan kerja sama dengan negara-negara dan organisasi internasional, dirancang untuk memberikan peringatan dini kepada masyarakat di daerah pesisir, memberi mereka waktu yang cukup untuk melaksanakan evakuasi sebelum tsunami menghantam.
Selain itu, program pendidikan bencana diperkenalkan di sekolah-sekolah dan komunitas-komunitas Aceh, memberikan pemahaman mengenai tanda-tanda awal tsunami, seperti surutnya air laut setelah gempa besar, serta prosedur evakuasi yang aman.
Hingga kini, dalam upaya penanggulangan bencana yang terus berkembang, pemerintah Indonesia mendirikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 2008, melalui Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008.
Peristiwa tsunami Aceh 2004 menjadi titik balik dalam sistem penanggulangan bencana Indonesia, dengan perhatian besar terhadap kesiapsiagaan masyarakat dan mitigasi bencana untuk menghadapi ancaman yang lebih besar di masa depan.