KOROPAK.CO.ID – Pada 7 Januari 1566, Kesultanan Aceh Darussalam resmi berstatus sebagai negeri yang dilindungi oleh Kekaisaran Utsmaniyah, sebuah langkah penting dalam sejarah hubungan antara Aceh dan Turki Utsmani.
Kesultanan Aceh, yang pada masa itu merupakan salah satu kekuatan besar Islam di Nusantara, memiliki hubungan yang erat dengan Kekaisaran Utsmaniyah. Meskipun permohonan bantuan Aceh untuk melawan Belanda pada tahun 1873 ditolak, hubungan diplomatik dan militer antara keduanya memiliki perjalanan panjang yang dimulai sejak abad ke-16.
Di awal hubungan ini, sekitar tahun 1565, sebuah ekspedisi besar yang dilakukan oleh Utsmaniyah ke Aceh menandai dukungan nyata dari Kekaisaran Utsmaniyah kepada Aceh dalam melawan penjajahan Portugis di Malaka.
Sebelumnya, pada 1564, Sultan Alauddin al-Qahhar dari Aceh mengirimkan utusan untuk meminta bantuan kepada Sultan Selim II di Istanbul.
Hal ini tidak hanya menunjukkan ikatan politik yang kuat, tetapi juga usaha Sultan Aceh untuk memanfaatkan kekuatan Utsmaniyah dalam memperluas wilayah dan pengaruhnya di Sumatra, serta mengusir Portugis dari Malaka.
Namun, hubungan antara Aceh dan Utsmaniyah sebenarnya telah dimulai lebih awal, sejak tahun 1530-an. Sultan Alauddin al-Qahhar, yang memerintah pada masa itu, berambisi memperkuat hubungan dengan Utsmaniyah untuk memajukan Aceh sebagai kekuatan besar di kawasan Asia Tenggara.
Ambisinya tercermin dalam perekrutan 300 prajurit Utsmaniyah serta 200 saudagar asal Malabar untuk menaklukan wilayah Tano Batak pada 1539. Setelah ekspedisi pada 1565, hubungan kedua belah pihak semakin mendalam.
Sultan Husain Ali Riayat Syah, penerus Sultan Alauddin, mengirimkan duta besar ke Istanbul, yang membawa surat yang menyebutkan penguasa Utsmaniyah sebagai khalifah.
Baca: Persekutuan Bersejarah Aceh dan Utsmaniyah pada Abad ke-16
Sultan Selim II kemudian merespons dengan mengirim armada yang terdiri atas prajurit, insinyur, dan pembuat senjata, yang memperkuat posisi militer Aceh dalam menghadapi ancaman luar, terutama dari Portugis dan Belanda.
Armada Utsmaniyah, yang tiba di Aceh antara 1566 hingga 1567, memberikan dampak signifikan. Tiga kapal Utsmaniyah yang dipimpin oleh Kurdoglu Hizir Reis membawa banyak senjata dan teknologi militer canggih, termasuk meriam yang kemudian banyak diproduksi oleh Aceh sendiri.
Meskipun demikian, ketika Aceh melakukan serangan ke Malaka pada 1568, Utsmaniyah memilih untuk tidak terlibat langsung dalam pertempuran tersebut, namun pengaruh mereka dalam meningkatkan kemampuan militer Aceh tetap tak terbantahkan.
Pada puncaknya, hubungan Aceh dengan Utsmaniyah tidak hanya mencakup aspek militer, tetapi juga memperkuat bidang budaya, perdagangan, dan keagamaan. Namun, hubungan ini tak lepas dari ketegangan dengan Portugis, yang menyadari potensi besar dari aliansi Aceh dan Utsmaniyah.
Portugis berusaha menghancurkan jalur perdagangan yang menghubungkan Aceh, Turki, dan Venesia, dengan menyerang Laut Merah dan Aceh, namun serangan ini gagal karena kekurangan pasukan. Meskipun begitu, hubungan diplomatik antara Aceh dan Utsmaniyah mengalami pasang surut.
Pada 1873, ketika Aceh diserang oleh Belanda, Kesultanan Aceh berharap mendapat perlindungan dari Utsmaniyah, namun permohonan tersebut ditolak. Penolakan ini dipicu oleh perjanjian internasional yang mengikat Utsmaniyah untuk tidak berkonflik dengan Belanda, meskipun sebelumnya hubungan antara kedua negara sangat erat.
Sejarah hubungan Aceh dengan Utsmaniyah mencerminkan dinamika politik internasional yang kompleks dan menunjukkan bagaimana Aceh berusaha memanfaatkan aliansi strategis untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Kendati hubungan ini tidak selalu berjalan mulus, kedekatan Aceh dengan Utsmaniyah menciptakan warisan budaya, militer, dan politik yang memengaruhi perkembangan Kesultanan Aceh hingga abad ke-19.