Seni Budaya

Keunikan Suku Cia-Cia yang Gunakan Aksara Korea

×

Keunikan Suku Cia-Cia yang Gunakan Aksara Korea

Sebarkan artikel ini
Keunikan Suku Cia-Cia yang Gunakan Aksara Korea
Doc. Foto: satujam.com

KOROPAK.CO.ID – Di tengah kekayaan budaya Indonesia, ada sebuah suku yang memiliki cara unik untuk melestarikan bahasanya, yakni Suku Cia-Cia yang mendiami Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Salah satu keistimewaan mereka adalah penggunaan aksara Hangeul, yang berasal dari Korea Selatan, sebagai sistem penulisan bahasa Cia-Cia.

Sejarahnya dimulai pada awal 2000-an, ketika bahasa Cia-Cia yang hanya digunakan secara lisan, menghadapi ancaman kepunahan karena tidak memiliki sistem aksara tertulis. Melihat kondisi ini, pada tahun 2005, Wali Kota Baubau saat itu, Amirul Tamin, memulai pencarian solusi.

Berbagai opsi sempat diajukan, termasuk penggunaan aksara Arab gundul, namun akhirnya keputusan untuk menggunakan aksara Hangeul muncul setelah Profesor Chun Thay Hyun, ahli bahasa asal Korea Selatan, menilai adanya kemiripan antara pelafalan bahasa Cia-Cia dan bahasa Korea.

Melalui kerjasama dengan Hunminjeongeum Research Institute, lembaga yang berfokus pada penyebaran aksara Hangeul, aksara Korea pun diperkenalkan kepada masyarakat Cia-Cia. Sejak itu, berbagai tempat umum di wilayah tersebut mulai menggunakan papan nama yang menyertakan aksara Hangeul untuk bahasa Cia-Cia.

Bahkan, penggunaan aksara ini juga diintegrasikan dalam kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah setempat, mulai dari SD hingga SMA, untuk mengajarkan murid-murid cara menulis dan membaca aksara Hangeul.

Keputusan ini membawa dampak positif dalam pelestarian bahasa Cia-Cia. Bahasa yang sempat terancam pun kini memiliki dokumentasi tertulis yang bisa diwariskan ke generasi mendatang.

Baca: Korea, Aksara Hangeul dan Bahasa Cia Cia Sultra

Selain itu, penggunaan aksara Hangeul telah mengangkat nama Cia-Cia ke kancah internasional. Negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, Inggris, dan Amerika turut mengenal keberadaan bahasa dan budaya ini berkat inisiatif tersebut.

Namun, seperti halnya inovasi budaya lainnya, langkah ini tidak lepas dari kontroversi. Ada sebagian kalangan yang mendukung kebijakan ini, dengan alasan bahwa adaptasi aksara Hangeul justru memperkaya budaya dan membantu mencegah kepunahan bahasa Cia-Cia.

Sebaliknya, sebagian lainnya menentang, khawatir aksara Hangeul akan merubah kemurnian bahasa Cia-Cia dan lebih memilih penggunaan aksara Buri Wolio yang lebih dekat dengan budaya Buton.

Meskipun demikian, dampak positif dari penggunaan aksara Hangeul jelas terasa. Bahasa Cia-Cia kini tidak hanya bertahan, tetapi juga semakin dikenal secara global, membuka peluang kerja sama internasional, terutama antara Indonesia dan Korea Selatan dalam bidang kebudayaan dan pendidikan.

Cerita Suku Cia-Cia di Pulau Buton ini menjadi bukti bahwa dalam melestarikan budaya, keberanian untuk berpikir kreatif dan berinovasi sangatlah penting.

Aksara Hangeul, yang pada awalnya tak terbayangkan akan menjadi bagian dari bahasa daerah Indonesia, kini menjadi jembatan penting dalam menjaga kelestarian bahasa dan budaya. Semoga langkah ini menjadi inspirasi bagi pelestarian bahasa daerah lainnya di seluruh Indonesia.

error: Content is protected !!