KOROPAK.CO.ID – Nama Depok kerap dikaitkan dengan kisah unik dan kaya sejarah. Kota yang kini berbatasan dengan Jakarta Selatan ini ternyata telah menikmati masa “kemerdekaannya” sebelum Republik Indonesia berdiri, berkat seorang tokoh Belanda bernama Cornelis Chastelein, seorang petinggi di Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Cornelis Chastelein, seorang pejabat tinggi VOC berdarah Belanda-Prancis, dikenal sebagai sosok berbeda di antara petinggi kongsi dagang itu.
Pandangannya yang humanis dan religius membuatnya menentang praktik kerja paksa yang kala itu lazim dilakukan oleh VOC. Ia percaya bahwa kesejahteraan suatu koloni hanya bisa tercapai jika penduduknya diperlakukan secara adil.
Ketidakcocokan prinsip dengan VOC membuatnya mengundurkan diri pada 24 September 1691. Setelah keluar, Chastelein mulai membeli tanah di berbagai wilayah Batavia, termasuk Depok pada 1696.
Di atas tanah ini, ia mengembangkan perkebunan tebu, kopi, nila, dan buah-buahan, yang sebagian besar dikelola oleh budak yang ia datangkan dari berbagai wilayah seperti Bali, Makassar, dan Koromandel.
Pada 1696, dua bulan setelah membeli tanah Depok, Chastelein menulis surat wasiat pertamanya, yang kemudian direvisi beberapa kali hingga 1714. Dalam dokumen ini, ia menegaskan pembebasan budak-budaknya, memberi mereka hak atas tanah untuk dikelola bersama.
Wasiat ini menciptakan sistem otonomi bagi 12 marga budak yang dibebaskannya: Bacas, Isakh, Jacob, Jonathans, Joseph, Laurens, Loen, Leander, Samuel, Soedira, Tholense, dan Zadokh.
Baca: Sejarah Kota Depok; Dari Tempat Singgah Prabu Siliwangi Hingga Jadi Daerah Elit Orang Kaya
Chastelein meninggal pada 28 Juni 1714 akibat wabah malaria. Setelah kematiannya, surat wasiat tersebut membuka jalan bagi pembentukan komunitas mandiri di Depok, yang kemudian dikenal sebagai Depok Lama.
Komunitas yang dibentuk oleh keturunan budak Chastelein berfungsi sebagai daerah otonom dengan sistem pemerintahan sendiri. Mereka memiliki presiden yang dipilih dari salah satu marga. Namun, pada 1844, keluarga Grovinius, keturunan Chastelein, mengklaim kembali tanah tersebut, memicu konflik panjang.
Mahkamah Agung Hindia Belanda pada 1850 akhirnya memutuskan hak atas tanah Depok tetap dipegang oleh keturunan 12 marga, yang saat itu hidup dalam kondisi serba kekurangan. Peran gereja di Depok sangat penting dalam membangun kembali kesejahteraan komunitas tersebut melalui pendidikan dan pelatihan misionaris.
Selama masa kolonial, Depok dipimpin oleh lima presiden yang berasal dari 12 marga. Namun, setelah Indonesia merdeka, situasi menjadi rumit. Keturunan bekas budak Chastelein dianggap sebagai kelompok yang pro-Belanda karena masih menggunakan bahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari.
Ketegangan ini memuncak pada peristiwa “Gedoran,” di mana penduduk asli mengusir keturunan 12 marga dari Depok. Meskipun konflik ini akhirnya mereda, jejak sejarah yang ditinggalkan Cornelis Chastelein tetap menjadi bagian penting dari identitas kota Depok hingga hari ini.
Kisah Cornelis Chastelein dan komunitas yang dibentuknya di Depok bukan hanya tentang perjuangan melawan eksploitasi, tetapi juga tentang nilai kemanusiaan, keadilan, dan semangat otonomi. Hingga kini, Depok terus berkembang menjadi kota modern tanpa melupakan sejarah uniknya sebagai wilayah yang pernah merdeka sebelum Indonesia lahir.