KOROPAK.CO.ID – Pada Jumat, 17 Januari 2025 lalu, peristiwa yang mengundang perhatian ramai terjadi di Desa Semunad, Kecamatan Tulin Onsoi, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara). Seorang pria yang diduga menganiaya istrinya hingga meninggal dunia, diadili dalam peradilan adat Dayak Agabag yang dikenal dengan nama Dolop.
Prosesi ini dilakukan di Sungai Tulin, Jalan Trans Kaltara, sebagai bagian dari tradisi suku Dayak Agabag untuk menyelesaikan perkara yang tidak dapat diselesaikan melalui mediasi.
Wakil Ketua Lembaga Adat Dayak Agabag di Kecamatan Tulin Onsoi, Sati Baru, menjelaskan bahwa ritual Dolop berfungsi untuk mencari tahu siapa yang benar dan siapa yang salah dalam sebuah kasus, terutama ketika bukti tak cukup untuk memutuskan secara hukum.
Dalam hal ini, keluarga korban meyakini bahwa suami almarhumah, Roy, adalah pelaku meski tidak memiliki bukti yang cukup. Setelah proses dua hari ritual Dolop, di mana jasad almarhum Esther dimandikan dan diganti kainnya, ditemukan sebuah garis biru pada bagian lehernya yang semakin memperkuat dugaan keluarga bahwa Roy adalah pelaku penganiayaan.
Berdasarkan hasil ritual ini, Roy dijatuhi hukuman adat dengan sejumlah barang sebagai denda, termasuk sampak ogong, belayung layin, buah liabay ansak, saluangan bungkas, kain sitak, seekor sapi dewasa, serta uang tunai sebesar Rp30 juta.
Salah satu tokoh Dayak Agabag, Bajib Misak, menjelaskan bahwa Dolop adalah sistem peradilan adat yang diyakini melibatkan campur tangan Tuhan dan roh nenek moyang dalam memutuskan siapa yang bersalah.
Baca: Muai, Ritual Sakral Dayak Iban untuk Hormati Roh Leluhur
Dolop telah menjadi solusi dalam menyelesaikan kasus yang tak terpecahkan di masyarakat Agabag, dan diyakini bahwa setiap prosesnya melibatkan kekuatan roh dari laut dan darat untuk mengungkapkan kebenaran.
Upacara ini tidak hanya melibatkan pihak berperkara, namun juga para tetua adat, kepala desa, hingga perwakilan dari polisi, dengan pelaksanaan yang dilakukan di sungai yang dianggap memenuhi syarat.
Proses pemanggilan roh leluhur dimulai dengan pemukulan batang pisang yang diyakini untuk memanggil roh nenek moyang yang akan membantu proses penentuan siapa yang bersalah.
Ritual Dolop yang terus dilestarikan oleh masyarakat Agabag hingga kini menjadi simbol penting dari keteguhan adat dan tradisi yang menjaga keseimbangan sosial mereka, meskipun dihadapkan pada tantangan perubahan zaman dan modernitas.
Meskipun tradisi ini masih dilakukan, beberapa adat yang lebih keras, seperti tradisi Ambasa (nyawa ditukar dengan nyawa), kini digantikan dengan denda adat, selaras dengan perkembangan peradaban dan undang-undang negara.
Dengan hasil yang tegas dan tidak pernah dipertanyakan oleh warga Agabag, ritual ini tetap menjadi solusi yang diterima untuk menemukan keadilan menurut adat mereka, dan memberi rasa aman dalam komunitas yang terus menjalankan tradisi ini.