KOROPAK.CO.ID – Pada 23 Januari 1946, sebuah peristiwa bersejarah menggema di Luwu Raya, Sulawesi Selatan, yang hingga kini dikenang sebagai simbol kesetiaan rakyat terhadap Tanah Air.
Pada hari itu, tepat dua hari setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Andi Djemma, Datu’ (Raja) Luwu, menyatakan bahwa wilayah yang ia pimpin bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tindakan berani ini disambut dengan semangat oleh rakyat Luwu.
Sebelumnya, pada 15 Oktober 1945, Andi Djemma turut memprakarsai Deklarasi Jongaya, sebuah pernyataan dari raja-raja di Sulawesi Selatan yang bersumpah setia dan berkomitmen untuk meleburkan diri dalam Republik Indonesia.
Meski demikian, ketegangan mulai timbul saat pasukan Belanda (NICA) kembali hadir di wilayah Luwu, dipimpin oleh tentara Sekutu pada akhir 1945.
Dalam pertemuan dengan pasukan Sekutu pada 1 Desember 1945, Andi Djemma menegaskan bahwa administrasi sipil Luwu tetap di bawah kendali Kerajaan Luwu, sementara pasukan Sekutu hanya bertugas melucuti tentara Jepang.
Namun, situasi semakin tegang seiring dengan pengumuman Brigjen Chilton, komandan baru pasukan Sekutu, yang mewajibkan seluruh rakyat Sulawesi Selatan untuk mematuhi NICA. Ketegangan memuncak saat tentara Belanda merusak Masjid Jami’ Bua di Palopo pada 21 Januari 1946, yang memicu kemarahan rakyat Luwu.
Baca: 23 Januari 1946; Perlawanan Rakyat Luwu Dipimpin Andi Djemma Lawan Penjajah Belanda
Pada malam 22 Januari 1946, ketegangan mencapai puncaknya. Pada dini hari 23 Januari 1946, pemuda Luwu yang dipimpin oleh M. Yusuf Arief menyerbu pos-pos militer Belanda, mengobarkan pertempuran sengit yang mengubah langit Palopo menjadi kelam oleh asap pertempuran.
Meski sempat menguasai kota, pemuda Luwu terpaksa mundur karena kekurangan persenjataan. Andi Djemma bersama keluarganya terpaksa meninggalkan Istana Langkanae dan mencari perlindungan.
Selama beberapa bulan, pejuang Luwu bersembunyi di hutan dan melancarkan serangan sporadis. Pada 1 Maret 1946, pemimpin-pemimpin laskar bersatu dalam satu komando, Pembela Keamanan Rakyat (PKR) Luwu, untuk melawan penjajah.
Perjuangan Andi Djemma tidak berhenti di situ. Meskipun telah ditangkap pada 2 Juni 1946 dan diasingkan ke berbagai tempat, semangat juangnya tetap berkobar.
Meskipun perlawanan pada 23 Januari 1946 mengalami kekalahan, peristiwa ini menjadi titik awal perjuangan rakyat Luwu melawan Belanda, yang puncaknya terjadi dalam peristiwa “Masamba Affair” pada 29 Oktober 1949.
Peristiwa 23 Januari 1946 mengingatkan kita akan keberanian dan tekad rakyat Luwu dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sekaligus menjadi simbol pengorbanan dalam memperjuangkan kebebasan tanah air dari belenggu penjajahan.