Muasal

Dansa dan Jejak Euforia Kemerdekaan di Jakarta Era 1950-an

×

Dansa dan Jejak Euforia Kemerdekaan di Jakarta Era 1950-an

Sebarkan artikel ini
Dansa dan Jejak Euforia Kemerdekaan di Jakarta Era 1950-an
Doc. Foto: Ilustrasi/GNFI

KOROPAK.CO.ID – Dansa pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup masyarakat Indonesia, khususnya di Jakarta, pada era 1950-an. Meski identik dengan budaya Barat, seni dansa telah hadir di tanah air jauh sebelum itu, berkembang seiring waktu dari ruang lingkup eksklusif hingga menjadi fenomena sosial.

Namun, bagaimana seni ini bisa mencuat di tengah masyarakat Indonesia pada masa tersebut?

Menurut Tatag Nasrul Andriawan dalam penelitian bertajuk “Dansa dalam Masyarakat Jakarta, 1950-an”, jejak awal seni dansa di Indonesia dapat dilacak hingga awal abad ke-19. Pada periode ini, dansa terbatas di kalangan elite Eropa yang tinggal di Hindia Belanda.

Akan tetapi, pada dekade 1920-an, beberapa masyarakat bumiputra mulai tertarik pada seni ini, meski hanya di kalangan tertentu, seperti kaum priyayi atau masyarakat yang memiliki akses budaya Barat.

Eksistensi dansa sempat meredup selama masa Pendudukan Jepang. Namun, setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945, kegiatan dansa kembali mendapatkan momentum, mencapai puncaknya pada dekade 1950-an.

Tatag menjelaskan bahwa meningkatnya ketertarikan masyarakat terhadap dansa tidak bisa dilepaskan dari semangat euforia kemerdekaan. Dekade 1950-an adalah periode di mana Indonesia telah diakui sepenuhnya sebagai negara merdeka setelah Konferensi Meja Bundar 1949.

Kebebasan yang diraih selama bertahun-tahun penjajahan melahirkan berbagai ekspresi budaya, dan dansa menjadi salah satu simbol perayaan masyarakat. “Ketertarikan masyarakat terhadap dansa pada 1950-an tidak memiliki penyebab khusus. Kegiatan ini lebih sebagai wujud euforia atas kemerdekaan yang telah dicapai,” ungkap Tatag.

Baca: Menelusuri Sejarah Panjang Perkembangan Musik Jazz di Indonesia

Pada masa itu, dansa tidak hanya diminati oleh masyarakat yang telah terbiasa dengan budaya Barat, seperti bumiputra kaya atau kalangan Tionghoa, tetapi juga oleh kelompok masyarakat kelas menengah.

Tingginya minat masyarakat terhadap dansa mendorong kemunculan banyak sekolah dansa di Jakarta. Sekolah-sekolah ini menjadi wadah bagi masyarakat yang ingin mempelajari seni tersebut, baik untuk bersosialisasi maupun sebagai bentuk hiburan.

Menariknya, perkembangan sekolah dansa dapat dilihat dari perubahan strategi komunikasi mereka. Pada awalnya, iklan sekolah dansa menggunakan bahasa Belanda, menargetkan masyarakat Eropa atau bumiputra elite yang memahami bahasa tersebut.

Namun, seiring waktu, banyak sekolah dansa mulai menggunakan bahasa Indonesia dalam iklan mereka. “Penggunaan bahasa Indonesia dalam iklan sekolah dansa menunjukkan bahwa masyarakat bumiputra menjadi target pasar utama,” jelas Tatag.

Popularitas dansa bertahan hingga akhir 1950-an dan awal 1960-an. Namun, seiring dengan perubahan kebijakan dan dinamika politik, kegiatan dansa mulai dilarang di ruang-ruang publik. Larangan ini menandai berakhirnya era kejayaan dansa sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Meski demikian, jejak dansa tetap menjadi bagian dari sejarah budaya Indonesia, khususnya sebagai wujud euforia kemerdekaan di era 1950-an. Seni ini bukan hanya simbol perayaan, tetapi juga cerminan perubahan sosial di tengah masyarakat yang tengah membangun identitas barunya pasca-kolonialisme.

error: Content is protected !!