KOROPAK.CO.ID – Rajapolah, sebuah kawasan yang terletak di Kabupaten Tasikmalaya, telah lama dikenal sebagai pusat kerajinan tangan yang unik dan penuh sejarah. Di tengah derasnya arus modernisasi, kerajinan anyaman Rajapolah tetap bertahan dan berkembang, bahkan menjadi salah satu pilar utama ekonomi kreatif di kawasan ini.
Kawasan Rajapolah, yang terletak di jalur utama antara Jawa Barat dan Jawa Tengah, memiliki posisi strategis yang menjadikannya sebagai pusat pemasaran dan promosi produk kerajinan.
Toko-toko suvenir dan kerajinan yang menghiasi sepanjang jalan utama ini tidak hanya menarik perhatian wisatawan lokal, tetapi juga pengunjung internasional yang melintas menuju destinasi wisata ternama seperti Pangandaran dan Cipatujah.
Dengan keberadaan jalur ini, kerajinan Rajapolah memiliki peluang besar untuk dikenal lebih luas di pasar nasional dan internasional. Sejarah kerajinan anyaman Rajapolah dimulai sejak abad ke-19, di mana keterampilan menganyam bambu, mendong, dan pandan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat setempat.
Masyarakat Rajapolah turun-temurun mewariskan keterampilan ini, menghasilkan produk-produk kerajinan yang memiliki ciri khas dan keaslian tersendiri.
Pada tahun 1890, seorang pengrajin bernama Martadinata (Haji Soleh) mulai mengembangkan teknik anyaman bambu halus, yang kemudian berkembang pesat dan menjadi salah satu produk unggulan Tasikmalaya.
Dengan semangat kewirausahaan, Martadinata menciptakan berbagai barang kerajinan, termasuk dompet, kimpul, dan topi caping, yang awalnya hanya digunakan untuk kebutuhan pribadi. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kerajinan ini menarik perhatian pemerintah Hindia Belanda yang menerapkan Politik Etis pada 1904.
Pemerintah kolonial mulai memperkenalkan produk anyaman Rajapolah ke pasar yang lebih luas, termasuk di kawasan Parakanhonje, yang menjadi pusat produksi anyaman halus di Tasikmalaya.
Baca: Mengenal Menong, Kerajinan Khas Plered Purwakarta yang Unik dan Cantik
Pada tahun 1915-an, kerajinan anyaman Rajapolah semakin berkembang, terutama dalam pembuatan tikar aria, sebuah produk anyaman dengan dua lapisan yang memberikan kenyamanan saat digunakan. Selain itu, pewarna alami yang digunakan memberikan kesan estetika yang khas, meski pilihan warnanya terbatas pada merah, coklat, dan kuning.
Pada tahun 1920, kerajinan ini semakin dikenal dengan hadirnya tudung anyaman yang dipelopori oleh Haji Sidik, warga Kampung Cibereko. Kerajinan anyaman Rajapolah mulai mendunia berkat pameran Jaareurs yang diadakan di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Melalui pameran ini, kerajinan anyaman Rajapolah tidak hanya dikenal di tanah air, tetapi juga dipasarkan ke luar negeri, bahkan hingga ke Belanda. Pada tahun 1962, perajin Di’mat Sastrawiria melanjutkan tradisi dengan menciptakan berbagai produk baru seperti tas, dompet, kipas, dan tempat pensil.
Inovasi-inovasi ini semakin mengangkat popularitas kerajinan anyaman Rajapolah, yang terus berkembang pesat hingga dekade 1990-an. Pada masa ini, kerajinan ini mencapai puncak kejayaannya, dengan semakin banyaknya perajin yang mendirikan usaha sendiri dan memperkenalkan produk mereka ke pasar yang lebih luas.
Hari ini, kerajinan anyaman Rajapolah telah menjadi ikon Kabupaten Tasikmalaya, melambangkan warisan budaya yang kaya dan penuh potensi.
Dengan segala keberhasilan dan perkembangan yang telah tercapai, kerajinan anyaman Rajapolah tidak hanya menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat setempat, tetapi juga turut mengangkat citra Tasikmalaya di kancah nasional dan internasional.
Sebagai bagian dari budaya Indonesia yang tak ternilai harganya, kerajinan ini terus memberikan peluang ekonomi dan pekerjaan yang signifikan bagi generasi mendatang.
