KOROPAK.CO.ID – Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia dan dunia, dengan jumlah anggota yang diperkirakan mencapai lebih dari 90 juta jiwa. Namun, pendiriannya pada 31 Januari 1926, bukanlah sebuah peristiwa yang terjadi begitu saja.
Di balik berdirinya NU, ada perjalanan panjang yang melibatkan perjuangan dan pemikiran mendalam, terutama di masa kolonial Belanda. Pendirian NU tidak bisa dipisahkan dari tiga sosok utama, yakni Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai As’ad Syamsul Arifin, dan KH Cholil Bangkalan.
Kisah bermula ketika Kiai As’ad, yang diutus oleh Mbah Cholil Bangkalan, membawa tasbih yang diserahkan kepadanya untuk disampaikan kepada Kiai Hasyim Asy’ari di Tebuireng.
Tasbih tersebut menjadi simbol dan petunjuk pertama dalam proses pendirian NU, yang terus berlanjut dengan pengantaran tongkat dan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai petunjuk lanjutan.
Di akhir 1925, KH Abdul Wahab Chasbullah menggagas pendirian Jam’iyyah dan meminta persetujuan dari Kiai Hasyim. Namun, Kiai Hasyim menunjukkan sikap bijaksana, tidak langsung menyetujui usulan tersebut tanpa melalui proses sholat istikharah.
Keputusan yang diambil melalui istikharah ini ternyata bukan jatuh ke tangan Kiai Hasyim, melainkan kepada Mbah Cholil yang kemudian mengarahkan Kiai As’ad untuk bertindak sebagai mediator antara beliau dan Kiai Hasyim.
Proses lahirnya NU tidak hanya berkaitan dengan masalah keagamaan, tetapi juga tentang peneguhan mazhab dan kebangsaan, dengan latar belakang sosial yang sangat kompleks. Sebenarnya, NU adalah kelanjutan dari organisasi-organisasi sebelumnya, seperti Nahdlatul Wathon dan Nahdlatul Tujjar.
Baca: Jejak Sejarah dan Perkembangan Nahdlatul Ulama
Selain itu, lahirnya NU juga tak bisa lepas dari respons terhadap isu keagamaan global, terutama mengenai ancaman terhadap kebebasan bermazhab di Tanah Hijaz yang diajukan oleh Dinasti Saud di Arab Saudi.
Raja Saud berencana untuk membongkar makam Nabi Muhammad SAW dan menghapuskan praktik bermazhab di wilayah kekuasaannya, yang dianggapnya sebagai bid’ah.
Kyai Wahab Chasbullah, sebagai tokoh sentral dalam gerakan ini, bergerak cepat dengan mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam di Mekkah pada 1926 untuk menentang kebijakan tersebut.
Sikap tidak kooperatif dari kelompok modernis yang tergabung dalam Centraal Comite Al-Islam (CCI) mendorong Mbah Wahab untuk mengambil langkah sendiri dengan membentuk Komite Hijaz pada 1926. Pembentukan Komite Hijaz ini mendapat restu dari Kiai Hasyim, yang kemudian mengarah pada pembicaraan penting di Kertopaten, Surabaya pada 31 Januari 1926.
Dalam pertemuan tersebut, ulama-ulama terkemuka sepakat untuk mengirimkan KH Raden Asnawi sebagai delegasi untuk Mekkah. Dengan terpilihnya Raden Asnawi, lahirlah Jam’iyyah Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang akan mengirimkan utusan ke Mekkah, yang menandai berdirinya NU pada 31 Januari 1926.
Sejarah panjang ini mencerminkan bahwa pendirian NU bukanlah sekadar sebuah formalitas, tetapi merupakan hasil dari proses yang matang, penuh pertimbangan, dan dipengaruhi oleh konteks sosial dan agama yang sangat dinamis pada masa itu.
31 Januari 1926 menjadi tonggak bersejarah yang menandai lahirnya sebuah organisasi yang hingga kini memainkan peran penting dalam kehidupan keagamaan, sosial, dan budaya di Indonesia.