Video

Kisah Panjang Jejak Oligarki di Teluk Jakarta Hingga Pantai Utara Tangerang

×

Kisah Panjang Jejak Oligarki di Teluk Jakarta Hingga Pantai Utara Tangerang

Sebarkan artikel ini

KOROPAK.CO.ID – Sejarah seakan berulang, atas nama investasi, para pemangku kebijakan diuji: akankah mereka tunduk pada permainan korporasi yang begitu nyata di hadapan publik? Pertanyaan ini mengemuka di tengah hiruk-pikuk kasus pagar laut yang belakangan mencuri perhatian.

Masyarakat dibuat bertanya-tanya, bagaimana mungkin laut, yang seharusnya menjadi ruang bersama, justru dipetak-petak demi kepentingan segelintir elite bisnis? Lebih mencengangkan lagi, pembatas-pembatas itu bahkan berpayung hukum dengan kepemilikan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

Protes nelayan bukan hal baru. Sejak Mei 2023, mereka telah melaporkan keberadaan pagar laut ini ke Dinas Kelautan dan Perikanan Banten. Kala itu, panjangnya masih sekitar 400 meter.

Namun, dalam hitungan bulan, Agustus 2024 mencatat lonjakan signifikan hingga 7 kilometer. Kini, pagar laut itu membentang lebih dari 30 kilometer, seolah membentuk garis batas baru di perairan yang semestinya terbuka bagi semua.

Pagar laut yang membentang lebih dari 30 kilometer ini melintasi 16 desa di 6 kecamatan, dari Desa Muncung hingga Desa Pakuhaji. Terbuat dari bambu setinggi 6 meter, dipadukan dengan anyaman bambu, paranet, dan karung pasir sebagai pemberat, pagar ini menghalangi akses publik ke kawasan yang seharusnya terbuka.

Ribuan masyarakat pesisir terimbas, termasuk 3.888 nelayan dan lebih dari 500 pembudidaya yang kehilangan mata pencaharian mereka. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Banten, Eli Susianti, menegaskan bahwa hak nelayan dan pembudidaya untuk mengakses perairan pesisir telah dilanggar.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Sakti Trenggono, menjelaskan bahwa pagar laut ini kemungkinan dibuat untuk menahan pasir yang terbawa ombak, yang lama kelamaan akan membentuk daratan dan menghasilkan reklamasi alami. Menurut prediksi, reklamasi ini bisa menciptakan daratan seluas 30.000 hektar.

Dugaan bahwa pemagaran ini bagian dari persiapan reklamasi tentu bukan isu sepele, mengingat dampaknya terhadap kedaulatan negara, pengelolaan sumber daya alam, dan keberlanjutan hidup masyarakat pesisir.

Setelah aksi protes warga Banten mengguncang linimasa, pemerintah tak tinggal diam. Presiden Prabowo bergerak cepat, memerintahkan aparat mencabut pagar laut yang memicu kemarahan publik.

Kehebohan terus menjalar. Pemerintah terlihat ekstra hati-hati menangani kasus ini, apalagi belakangan terungkap bahwa di balik pagar tersebut tersembunyi kavling-kavling bersertifikat HGB. ada yang atas nama perusahaan dan ada yang atas nama individu.

Pemerintah tidak secara jelas menyebut siapa yang bertanggungjawab atas kejadian ini. meski dari parlemen sendiri telah berteriak meminta pemerintah bersikap tegas. ketua komisi 4 DPR titik Soeharto meminta seluruh Kementerian untuk tidak takut melawan oligarki.

Kementerian ATR BPN sendiri sampai dengan Jumat 24 Januari 2025 telah mencabut atau membatalkan sekitar 50 sertifikat shgb dan SHM di desa kohod Kecamatan pakuji Kabupaten Tangerang. 50 sertifikat yang dibatalkan tersebut terdiri dari sebagian milik shgb PT Intan Agung makmur serta sebagian SHM atau perorangan.

PT Intan Agung Makmur yang diketahui memiliki 243 bidang shgb merupakan salah satu entitas bisnis terafiliasi Agung Sedayu grup milik Sugianto Kusuma alias aguan.

Sebelum kasus pagar laut dan kavlingan ini mengguncang publik, proyek reklamasi pantai utara Jakarta dan Tangerang sudah dimulai sejak era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.

Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 mengawali reklamasi Pantura Jakarta, sementara proyek reklamasi Pantai Kapuk Naga di Tangerang diatur dalam Kepres 73 Tahun 1995.

Reklamasi ini awalnya bertujuan mulia: mengubah kawasan kumuh di Jakarta Utara menjadi Water Front City, yang berbasis pada Jabodetabek Metropolitan development plan. Di balik itu, ada narasi pengendalian banjir menggunakan metode folder system.

Artikel majalah Tempo edisi 12 Juli tahun 2010 berjudul Mimpi kota modern pinggir laut melaporkan bahwa pemerintah saat itu mengadakan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar yang di belakangnya tercatat nama-nama beken yang dekat dengan elit kekuasaaan, seperti Antoni Salim, Siti Hutami Endang adiningsih, Sudwikatmono, Setya Novanto dan lain-lainnya.

Baca: KKP Bongkar Fakta Pagar Laut Berdiri di Zona Terlarang

Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Sociology Research and Education oleh Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang pada 2021 mengungkapkan bahwa dominasi oligarki dalam proyek reklamasi pantai utara Jakarta dimulai sejak era Soeharto.

Pada masa reformasi, oligarki memperkuat pengaruh mereka dengan menjalin hubungan erat dengan kepala daerah untuk mempertahankan kekuasaan. Namun, selain itu, muncul aktor-aktor baru yang ikut terlibat, menguasai perusahaan-perusahaan yang sebelumnya telah mendapat izin pembangunan.

Persoalan reklamasi ini terus bergulir seiring perubahan zaman. Di masa Orde Baru, proyek ini terhenti akibat krisis moneter dan runtuhnya rezim. Sementara pada masa reformasi, reklamasi menjadi arena pertempuran kepentingan politik yang terus berkembang

Isu reklamasi pantai utara Jakarta mencapai puncaknya di masa kepemimpinan Gubernur Ahok dan Anies, dua figur yang sempat menggoyang dominasi oligarki.

Saat Ahok menjabat, ia berani mengancam kekuatan oligarki dengan mengusulkan kenaikan kontribusi pengembang dari 5% menjadi 15%. Angka ini, menurut Ahok, bukan sekadar angka acak, melainkan hasil perhitungan matang dari tim ahli yang dimilikinya.

Ahok menyatakan dengan tegas, kenaikan kontribusi ini tidak akan membebani pengembang karena, seperti yang ia ungkapkan dalam wawancara CNN Indonesia pada 4 April 2016, “Saya tidak bisa membatalkan reklamasi, tidak bisa mengambil alih, jadi saya mintai uang saja.”

Isu kenaikan kontribusi 15% dalam proyek reklamasi Pantura ternyata memicu masalah besar yang berujung ke meja hijau. Nama Arisman Wijaya, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, dan Ketua Komisi D DPRD DKI Muhammad Sanusi, terseret dalam kasus suap yang mengguncang publik.

Arisman terbukti menyuap Sanusi untuk mengakomodasi keinginannya dalam pengesahan Perda mengenai rencana tata ruang kawasan strategis pantai utara Jakarta, termasuk mengubah pasal yang mengatur tambahan kontribusi 15% bagi pemilik izin reklamasi.

Akibatnya, Arisman dijatuhi hukuman 3 tahun penjara, sementara Sanusi mendapat vonis lebih berat, yakni 7 tahun. Tak hanya mereka berdua, nama bos Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan, juga muncul dalam pusaran kasus ini.

Aguan, yang dikenal sebagai tokoh besar di dunia bisnis, pernah dipanggil oleh KPK sebagai saksi untuk mendalami dugaan suap yang melibatkan perusahaan pengembang lain kepada Sanusi.

Di Era Gubernur Anies Baswedan, ancaman terhadap oligarki hadir dengan cara berbeda. Anies mengancam untuk mencabut izin 13 pulau reklamasi, langkah yang sebenarnya bukan hal baru.

Sebelumnya, Menteri KLH Nabil Makarim dan Menko Maritim Rizal Ramli juga menggunakan pendekatan serupa, bahkan Ahok pun pernah menegur pengembang dengan argumentasi yang mirip pada 2016.

Inti teguran adalah eksklusivitas reklamasi, di mana pemukiman mewah yang dibangun hanya akan dinikmati segelintir orang, bukan nelayan. Nelayan, kata Ahok, hanya bisa melihat dari kejauhan, sementara mereka tak akan memiliki akses ke pulau-pulau tersebut.

Laporan dari Labor Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang mengungkapkan perbedaan perlakuan rezim terhadap oligarki.

Saat Ahok menjabat sebagai Gubernur Jakarta, Joko Widodo yang terpilih sebagai Presiden pada 2014, mendapat dukungan besar dari pengembang untuk memenangkan pemilu. Ancaman Ahok terhadap oligarki bukanlah penghentian reklamasi, melainkan tuntutan untuk menambah kontribusi daerah.

Laporan tersebut juga mencatat bahwa sebagian besar dana kampanye Jokowi-Ma’ruf dalam Pilpres 2019 berasal dari kelompok dan perusahaan oligarki. Sementara itu, Anies Baswedan, yang tidak sejalan dengan rezim nasional, tidak ada pilihan lain, selain mencabut izin reklamasi di Teluk Jakarta sebagai upaya merealisasikan janjinya.

Baca: Momen Sejarah 21 Agustus 1995, Ratu Beatrix Kunjungi Jakarta

Namun, lembaga bantuan hukum Jakarta menilai pencabutan izin ini sebagai gimik belaka, karena pada kenyataannya, reklamasi tetap berjalan.

Proyek reklamasi pantai utara Tangerang mendapat restu langsung dari Presiden Soeharto melalui Kepres Nomor 73 Tahun 1995. Seperti dilaporkan Republika pada Desember 1995, saat itu spekulan tanah mulai bergerak di pesisir Tangerang, mendorong sejumlah anggota DPR mendesak pemerintah untuk menindak praktik percaloan tanah di wilayah Kapuk Naga.

Pada 1997, Salim Group yang dipimpin Antoni Salim ikut terlibat dalam reklamasi Pantura Jakarta, dengan rencana ekspansi yang menyambung ke proyek reklamasi di Tangerang, termasuk Pantai Indah Kapuk dan Teluk Naga. Namun, proyek besar ini terhenti seiring jatuhnya Orde Baru dan bergulirnya reformasi.

Reklamasi Teluk Naga kemudian disebut-sebut sebagai hasil kongkalikong antara rezim Soeharto dan para taipan. Reformasi boleh bergulir, tapi jejak oligarki di pesisir utara Tangerang tetap mengakar.

29 Mei’98, DPRD Kabupaten Tangerang menuntut pembatalan megaproyek PT Kapuk Naga Indah seluas 8.000 hektare. Proyek senilai Rp14 triliun itu diduga sarat unsur KKN. Keppres Nomor 73 Tahun 1995 akhirnya dicabut, membuat reklamasi Pantura Tangerang, tenggelam dalam sunyi.

Namun, pada 2010, Pemerintah Kabupaten Tangerang—yang saat itu sudah masuk wilayah Banten, mengumumkan bahwa proyek ini bangkit kembali. Mereka mengklaim telah mengantongi izin dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional untuk mereklamasi 9.000 hektare pesisir Pantura Tangerang.

Tujuannya: membangun kota baru dengan garis pantai sepanjang 51 km, membentang dari Dadap di Kosambi, cituis di Pakuhaji, tanjung pasir di Teluknaga, Tanjung Kait di Mauk hingga Kronjo, seluruh wilayah itu di bagian pesisir lautnya belakangan berdiri pagar-pagar laut itu. mengisyaratkan bahwa reklamasi tak pernah benar-benar mati, hanya menunggu waktu untuk kembali berdenyut.

Setelah megaproyek ini Kandas pada tahun 1990-an, Salim grup kemudian menggandeng Agung Sedayu grup mengembangkan proyek itu melalui proyek perluasan Pantai Indah Kapuk 2. Pantai Indah Kapuk 2 nantinya akan terus mengular hingga Pantai Indah Kapuk 11 di Kabupaten Tangerang.

18 Maret 2024 rapat internal pemerintah yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo dengan para menteri terkait di Istana Negara menghasilkan persetujuan atas 14 usulan proyek strategis nasional baru.

Salah satu proyek strategis nasional baru yang dikembangkan tersebut adalah Green area dan ecocity di lokasi Pik 2. wilayah itu luasnya persis dengan proyek yang disetujui pada masa orde baru, yakni kurang lebih 1756 hektar dan dinamakan Tropical coastland.

Setelah megaproyek ini Kandas di era 1990-an, Salim grup kemudian menggandeng Agung Sedayu Group untuk mengembangkan kembali megaproyek itu melalui perluasan PIK-2, yang rencananya akan terus berkembang hingga Pantai Indah Kapuk 11 di Kabupaten Tangerang.

Pada 18 Maret 2024, Presiden Joko Widodo memimpin rapat internal dengan para menteri di Istana Negara. Hasilnya, pemerintah menyetujui 14 proyek strategis nasional baru, salah satunya adalah pengembangan Green Area dan Ecocity di PIK 2.

Wilayah ini, yang dinamai Tropical Coastland, memiliki luas 1.756 hektare, angka yang nyaris identik dengan proyek pada masa Orde Baru.

Seolah deja vu, proyek yang sempat terkubur kini bangkit kembali dengan label baru: ‘hijau’ dan ‘ramah lingkungan’.

Proyek yang masuk dalam kawasan PIK 2 ini punya nilai investasi sekitar 65 triliun., proyek ini juga terhubung dengan Tol Kamal-Teluknaga-Rajeg (Kataraja) yang mulai digarap sejak 2023. Infrastruktur ini seolah menjadi urat nadi baru bagi pengembangan kawasan elite di pesisir utara Tangerang.

Menariknya, hanya beberapa bulan setelah proyek strategis nasional ini mendapat restu, pagar-pagar laut mulai bermunculan di pesisir Tangerang. Apakah… ini… hanya kebetulan?

error: Content is protected !!