KOROPAK.CO.ID – Sejarah panjang penyebaran Islam di Nusantara tidak lepas dari peran para pendakwah yang mampu merangkul budaya setempat. Melalui akulturasi yang harmonis, ajaran Islam meresap dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk seni tari.
Dari ujung barat hingga timur kepulauan, lahirlah tarian-tarian tradisional bernuansa Islam seperti Tari Saman dan Seudati dari Aceh serta Tari Rudat dari Lombok. Di tanah Jawa, khususnya di Magelang, terdapat kesenian Kubro Siswo yang sarat akan nilai-nilai Islam dan semangat perjuangan.
Asal Usul dan Makna Kubro Siswo
Nama “Kubro Siswo” berasal dari dua kata, yaitu “kubro” yang berakar dari bahasa Arab kabiirun, bermakna besar, dan “siswo” yang dalam bahasa Jawa berarti murid. Secara harfiah, Kubro Siswo dapat dimaknai sebagai murid yang memiliki impian besar atau mereka yang senantiasa mengagungkan kebesaran Tuhan.
Selain itu, ada juga makna lain yang berkembang di masyarakat, yakni sebagai akronim dari “Kesenian Ubahing Badan lan Rogo”, yang berarti kesenian yang menggerakkan jiwa dan raga.
Kesenian ini lahir pada dekade 1960-an, dalam dinamika sosial-politik yang tengah bergolak. Saat itu, berbagai kesenian yang berafiliasi dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) marak berkembang, menimbulkan keresahan bagi masyarakat Muslim setempat.
Sebagai respons, sekelompok warga Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Magelang, menggagas seni tari yang tidak hanya menghibur tetapi juga menjadi sarana dakwah Islam. Dari sinilah Kubro Siswo mulai dikenal dan berkembang.
Keunikan dan Filosofi dalam Kubro Siswo
Dalam setiap pertunjukannya, Kubro Siswo menampilkan puluhan penari, berkisar antara 12 hingga 32 orang, baik laki-laki maupun perempuan. Setiap gerakan tari yang mereka bawakan menggambarkan semangat perjuangan dan pengabdian kepada Tuhan.
Tarian ini dapat berlangsung selama tiga hingga lima jam, dengan alunan musik dan lantunan selawat yang mengiringi langkah para penari. Kostum yang dikenakan para penari juga memiliki ciri khas tersendiri.
Baca: Grebeg Topeng Ireng, Meriahkan Tradisi di Magelang
Laki-laki mengenakan kaus dan celana pendek yang dipadukan dengan kaus kaki panjang, sedangkan perempuan mengenakan kaus dan celana panjang dengan batik yang diikatkan di pinggang serta sepatu.
Sementara itu, para penyanyi yang mengiringi tarian mengenakan seragam mirip prajurit perang dan menggunakan peluit sebagai aba-aba untuk mengatur ritme gerakan. Salah satu filosofi utama Kubro Siswo adalah semangat perjuangan.
Dalam beberapa versi, kesenian ini dianggap sebagai refleksi dari perjuangan para pemuda yang membantu Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa melawan kolonial Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa Kubro Siswo melambangkan perjalanan Sunan Geseng, murid Sunan Kalijaga, dalam menyebarkan Islam di wilayah Magelang.
Seiring dengan perkembangan zaman, Kubro Siswo mengalami transformasi untuk tetap relevan di tengah pergeseran selera masyarakat. Salah satu bentuk adaptasi yang muncul adalah Kubro Dangdut, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Brodut.
Inovasi ini memadukan unsur Kubro Siswo dengan irama dangdut yang lebih populer, sekaligus tetap mempertahankan nilai-nilai Islam dan pesan perjuangan di dalamnya.
Perubahan ini membawa kesenian Kubro Siswo ke ranah yang lebih luas, menarik perhatian generasi muda yang mungkin kurang familiar dengan bentuk tradisionalnya. Dengan demikian, Brodut tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana pelestarian budaya dan dakwah Islam dalam bentuk yang lebih modern.
Sebagai salah satu warisan budaya Magelang, Kubro Siswo tidak hanya sekadar tarian, tetapi juga cerminan sejarah, nilai-nilai keislaman, dan semangat kebersamaan masyarakat.
Keunikan dan kekayaan filosofi yang terkandung di dalamnya menjadikan kesenian ini sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas budaya daerah. Dengan adaptasi yang terus berkembang, Kubro Siswo membuktikan bahwa tradisi dapat tetap bertahan dan bersinar dalam arus perubahan zaman.