KOROPAK.CO.ID – Pada tahun 1674, bencana dahsyat mengguncang Pulau Ambon dan Pulau Seram. Tsunami raksasa setinggi puluhan meter menghantam wilayah Hila dan Lima, menewaskan ribuan jiwa.
Menurut catatan Wikipedia, tinggi gelombang mencapai 80 meter, sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ketinggian antara 70 hingga 90 meter.
Peristiwa ini terekam dalam catatan Georg Everhard Rumphius (1627-1702), seorang ilmuwan Eropa yang pernah bermukim di Ambon. Dalam laporannya, gempa dan tsunami tersebut menyebabkan kehancuran besar pada permukiman warga dan menewaskan sekitar 2.500 orang.
Musibah ini terjadi antara pukul 19.30 hingga 20.00 waktu setempat, tepat ketika perayaan tahun baru China berlangsung meriah di sekitar pasar.
“Guncangan hebat mengguncang seluruh Pulau Ambon dan pulau-pulau di sekitarnya,” tulis Rumphius dalam catatannya.
Baca: Catatan Tragis dari Maluku: Gempa dan Tsunami Ambon 1674
Akibat gempa itu, 86 orang tewas tertimpa reruntuhan bangunan, dan rumah-rumah batu mengalami retakan parah sehingga tak lagi dapat dihuni.
Tak lama setelah gempa, gelombang pasang menyapu seluruh pesisir Pulau Ambon. Wilayah pesisir utara di Semenanjung Hitu mengalami kerusakan paling parah, terutama di daerah Ceyt yang terletak di antara Negeri Lima dan Hila. Di wilayah ini, air laut naik setinggi 40–50 toises atau sekitar 70–90 meter, menyapu segala yang ada di pesisir.
Georg Everhard Rumphius menjadi saksi mata dalam salah satu bencana paling mematikan di Maluku. Tragedi itu turut merenggut nyawa istri dan anaknya. “Catatan ilmuwan ini menjadi bagian dari sejarah kelam gempa dan tsunami di wilayah Maluku dan sekitarnya,” tulis rilis BNPB.
Peristiwa tersebut tidak hanya menyisakan puing-puing kehancuran, tetapi juga menjadi pengingat akan dahsyatnya kekuatan alam yang bisa terjadi sewaktu-waktu di wilayah yang dikelilingi cincin api Pasifik ini.