KOROPAK.CO.ID – Pematang Siantar, sebuah kota yang kini menjadi salah satu pusat ekonomi dan budaya di Sumatra Utara, menyimpan sejarah panjang yang berakar pada masa kerajaan-kerajaan lokal. Sebelum menjadi kota otonom, Pematang Siantar pernah menjadi ibu kota Kabupaten Simalungun, hingga akhirnya ibu kota kabupaten dipindahkan ke Raya.
Sejarah kota ini berawal dari sistem pemerintahan kerajaan yang dirintis oleh para raja. Namun, kehadiran kolonial Belanda di Simalungun mengakhiri kekuasaan para raja, termasuk Kerajaan Siantar yang dipimpin oleh Sang Naualuh Damanik, raja terakhir yang berani menentang penjajahan.
Sang Naualuh Damanik, yang lahir pada tahun 1857, merupakan raja ke-14 dari Dinasti Siantar yang telah memerintah sejak tahun 1350. Ia naik takhta pada tahun 1882 dan dikenal sebagai raja pertama yang memeluk Islam serta berjasa dalam menyebarkan agama tersebut di Siantar.
Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Siantar menjadi salah satu dari tujuh kerajaan yang ada di wilayah Simalungun. Ketika Belanda mulai memperluas kekuasaannya, Sang Naualuh Damanik dengan tegas menolak tunduk kepada penjajah.
Ia menolak menandatangani Korte Verklaring, sebuah perjanjian pendek yang menyatakan ketundukan kepada Belanda. Sikapnya yang teguh menyebabkan konflik dengan pihak kolonial, hingga akhirnya pada tahun 1904 ia ditangkap dan dipenjara selama dua tahun di Pematang Siantar.
Setelah masa penahanan berakhir, Sang Naualuh Damanik diasingkan ke Pulau Bengkalis, Riau, di penjara Huis Van Behuaring bersama keluarganya. Meskipun berada di pengasingan, ia tetap dihormati, baik oleh rakyat Siantar maupun masyarakat Bengkalis. Di sana, ia menghabiskan sisa hidupnya sebagai guru mengaji hingga wafat pada tahun 1914.
Baca: KH Anwar Musaddad, Tokoh Kunci Pendiri Perguruan Tinggi Islam di Indonesia
Sebagai seorang pemimpin, Sang Naualuh Damanik tidak hanya dikenal karena perjuangannya melawan Belanda, tetapi juga atas jasanya dalam merintis pembangunan Pematang Siantar.
Salah satu kontribusinya yang masih terasa hingga kini adalah pembukaan jalur penghubung antara Pematang Siantar dan Asahan, yang kini menjadi jalur vital menghubungkan beberapa daerah di Sumatra Utara, termasuk Simalungun dan Batubara. Awalnya dikenal sebagai Jalan Asahan, kini jalan tersebut telah diabadikan dengan nama Jalan Sang Naualuh.
Meskipun makamnya berada di Bengkalis, sebagai bentuk penghormatan, rakyat Pematang Siantar juga membangun makam simbolis di kota tersebut untuk mengenang jasanya sebagai pemimpin dan pejuang. Prasasti makamnya mengabadikan penghargaan sebagai “Pelopor, Penganut, dan Pelindung Agama Islam di Siantar.”
Kini, Pematang Siantar telah berkembang menjadi kota yang maju, namun jejak sejarahnya tetap terasa dalam kehidupan masyarakatnya. Sang Naualuh Damanik tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme, tetapi juga inspirasi bagi generasi penerus tentang keberanian, kejujuran, dan dedikasi terhadap kemajuan daerahnya.
Meskipun zaman telah berubah, semangat perjuangannya tetap hidup dalam ingatan masyarakat Pematang Siantar dan Simalungun, menjadikannya sosok yang dihormati dan dikenang sepanjang masa.