KOROPAK.CO.ID – Indonesia, negeri dengan ribuan pulau, menyimpan kekayaan budaya yang tiada duanya. Dari Sabang hingga Merauke, setiap suku memiliki adat istiadat yang sarat dengan nilai-nilai filosofis.
Salah satu suku yang tetap teguh menjaga warisan leluhurnya adalah masyarakat Batak. Sistem kekerabatan yang kuat menjadi ciri khas suku ini, di mana marga tidak sekadar nama, tetapi juga identitas dan kebanggaan.
Namun, di balik sistem marga yang begitu dijunjung tinggi, ada satu tradisi lain yang tak kalah menarik, yaitu penyebutan boru ni raja bagi anak perempuan Batak. Sebutan ini bukan sekadar panggilan, tetapi sebuah gelar yang mengandung makna historis dan sosial yang mendalam.
Dalam tradisi Batak, seorang ayah dalam keluarga memiliki kedudukan sebagai kepala rumah tangga, yang secara adat disebut sebagai raja. Gelar ini bukan berarti raja dalam pengertian kerajaan, tetapi lebih kepada pemimpin yang dihormati dalam lingkup keluarga dan masyarakat.
Oleh karena itu, anak perempuan yang lahir dari seorang ayah (raja) disebut sebagai boru ni raja, yang dalam bahasa Indonesia berarti “putri raja”. Pemberian gelar ini bukan sekadar bentuk penghormatan, tetapi juga merupakan peneguhan nilai-nilai luhur bagi perempuan Batak.
Boru ni raja diharapkan tumbuh menjadi sosok yang tangguh, mandiri, dan memiliki harga diri yang tinggi. Ia tidak hanya menjadi kebanggaan keluarga, tetapi juga simbol kehormatan bagi masyarakatnya.
Sejak dahulu, perempuan Batak memang dikenal memiliki peran penting dalam menjaga tatanan sosial. Mereka tidak hanya berperan dalam keluarga, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan budaya. Dengan demikian, boru ni raja bukan sekadar panggilan, tetapi sebuah amanah yang harus dijaga dan dihormati.
Lebih dari sekadar sebutan, boru ni raja juga menggambarkan karakteristik khas perempuan Batak. Mereka dikenal memiliki keberanian, keteguhan hati, serta kemampuan untuk menjaga martabat keluarga. Seorang boru ni raja harus menjunjung tinggi sopan santun, cerdas dalam berpikir, serta mampu menjadi tulang punggung dalam berbagai situasi.
Baca: Makna Mendalam Pernikahan Marpariban dalam Adat Batak Toba
Dalam adat Batak, perempuan yang menyandang sebutan boru ni raja harus menjaga kehormatannya dan menjadi teladan bagi generasi berikutnya. Ia bukan hanya seorang anak, tetapi juga penjaga warisan keluarga yang akan terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Seiring dengan berkembangnya zaman, istilah boru ni raja tidak hanya dikenal dalam lingkup budaya Batak, tetapi juga merambah ke media populer. Penyebutan ini sering muncul dalam film, lagu, dan karya seni lainnya yang menggambarkan kebanggaan masyarakat Batak terhadap warisan budaya mereka.
Salah satu contohnya adalah film Harta, Tahta, dan Boru Ni Raja, yang dirilis pada 11 Juli 2024. Film ini mengisahkan perjalanan seorang mahasiswa bernama Jerry “Tan” Panjaitan yang berusaha menyelesaikan skripsinya dengan meneliti sejarah tokoh nasional D.I. Panjaitan.
Perjalanannya kembali ke kampung halaman menjadi titik balik yang mempertemukannya dengan nilai-nilai luhur budaya Batak. Selain dalam film, istilah boru ni raja juga diabadikan dalam lagu.
Grup musik Siantar Rap Foundation menciptakan lagu berjudul Boru Ni Raja, yang liriknya menggambarkan bagaimana perempuan Batak dihormati layaknya seorang putri raja. Lagu ini juga berisi ajakan bagi para pria untuk memilih gadis Batak sebagai pasangan hidup mereka, mengingat kepribadian dan karakter kuat yang mereka miliki.
Sebutan boru ni raja bukan hanya warisan budaya, tetapi juga representasi nilai-nilai luhur yang masih dijunjung tinggi hingga kini. Gelar ini mengandung makna mendalam tentang peran perempuan dalam menjaga kehormatan keluarga dan masyarakat.
Di tengah arus modernisasi, istilah boru ni raja terus hidup dan berkembang, membuktikan bahwa budaya Batak tetap memiliki tempat di hati masyarakatnya. Bukan sekadar panggilan, tetapi sebuah identitas yang menggambarkan kebanggaan dan kehormatan perempuan Batak di tengah keberagaman budaya Indonesia.