KOROPAK.CO.ID – Pada 4 Maret 1961, Indonesia mengambil langkah besar dalam sejarah militernya dengan membeli senjata dari Uni Soviet untuk mendukung Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora). Operasi ini merupakan upaya militer Indonesia untuk merebut Irian Barat (Papua) dari tangan Belanda, sebuah konflik yang berlangsung selama dua tahun.
Sebelum beralih ke Uni Soviet, Indonesia lebih dulu mencoba menjalin kerja sama dengan Amerika Serikat. Namun, harapan itu pupus setelah AS menolak memberikan bantuan persenjataan. Situasi semakin memanas ketika kapal induk Belanda memasuki perairan Irian Barat.
Presiden Soekarno, yang geram dengan perkembangan ini, memanggil KSAD Jenderal Abdul Haris Nasution dan memberinya tugas penting: membeli persenjataan berat dari Uni Soviet.
Sebenarnya, Uni Soviet telah lebih dulu menawarkan bantuan militer kepada Indonesia. Namun, tawaran itu sempat ditangguhkan atas permintaan Angkatan Darat yang masih berharap bisa memperoleh persenjataan dari AS.
Bagi Nasution, menerima tawaran Soviet terasa seperti menelan kembali keyakinan sebelumnya. Namun, setelah usahanya melobi AS gagal, ia tak punya pilihan selain berangkat ke Moskow.
Baca: Misi Pembelian Senjata Indonesia dari Uni Soviet
Di ibu kota Uni Soviet, Nasution sukses melakukan negosiasi besar. Ia berhasil mendapatkan alutsista senilai 450 juta dolar AS dengan sistem pembayaran kredit berjangka 20 tahun dan bunga hanya 2,5%. Kesepakatan ini menjadi salah satu transaksi persenjataan terbesar dalam sejarah Indonesia.
Alutsista yang dibawa pulang dari Uni Soviet meliputi:
– 12 kapal selam
– Tank dan kendaraan tempur
– Kapal roket cepat
– Pesawat tempur
– Helikopter
– Peralatan amfibi
Dengan persenjataan ini, Indonesia memperkuat kekuatan militernya dan semakin siap menghadapi Belanda dalam perebutan Irian Barat. Kesepakatan ini juga menandai semakin eratnya hubungan Indonesia dan Uni Soviet pada era Perang Dingin, serta menunjukkan bagaimana Indonesia memainkan perannya dalam dinamika geopolitik global.