KOROPAK.CO.ID – Siapa yang tak mengenal istilah ‘Imsak’? Di bulan Ramadan, saat fajar belum benar-benar menyingsing, masyarakat Indonesia terbiasa menghentikan santapan sahur mereka sekitar 10 menit sebelum azan subuh berkumandang.
Waktu ini disebut sebagai imsak, sebuah penanda kehati-hatian sebelum benar-benar memasuki waktu berpuasa. Imsak telah menjadi bagian dari tradisi umat Muslim di Indonesia. Hampir seluruh wilayah di Nusantara menggunakan istilah ini sebagai batas waktu sebelum azan subuh.
Tak jarang, di berbagai daerah, imsak diumumkan melalui pengeras suara masjid, seolah menjadi peringatan kolektif bagi umat Islam agar segera menyelesaikan santapan sahur mereka.
Namun, menariknya, konsep imsak ini lebih banyak dikenal di Indonesia dan sebagian kecil negara di Asia Tenggara, sementara di negara-negara Timur Tengah, masyarakat umumnya hanya berpedoman pada azan subuh sebagai awal dimulainya puasa.
Secara bahasa, merujuk pada Kementerian Agama (Kemenag) RI, imsak berarti “menahan.” Dalam konteks Ramadan, istilah ini merujuk pada batas waktu untuk mulai menahan diri dari makan dan minum sebelum masuk waktu subuh. Tradisi ini memiliki dasar yang kuat dalam literatur Islam.
Salah satu rujukannya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam bab “Berapa Lama Waktu antara Selesainya Sahur dan Azan Subuh?”. Dalam hadis tersebut, Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW dan Zaid bin Tsabit pernah makan sahur bersama.
Setelah selesai, Nabi pun segera bangkit untuk melaksanakan salat. Ketika ditanya mengenai selisih waktu antara selesai sahur dan salat, Anas menjawab, “Kira-kira waktu seseorang membaca lima puluh ayat.” (HR. Bukhari No. 542).
Dari hadis inilah, ulama Indonesia memperkirakan bahwa waktu membaca 50 ayat berkisar 10 menit, sehingga waktu imsak kemudian ditetapkan sebagai 10 menit sebelum subuh sebagai bentuk kehati-hatian.
Baca: Sejarah Awal Mulanya Selebaran Jadwal Imsakiyah, Pertama Kali Dikenalkan di Mesir
Dengan adanya imsak, umat Muslim diharapkan telah menyelesaikan sahur mereka, memastikan tidak ada sisa makanan yang masih berada di dalam mulut, dan mempersiapkan diri untuk memulai puasa dengan kesempurnaan.
Secara historis, konsep imsak pertama kali diperkenalkan di Mesir pada tahun 1262 Hijriah atau sekitar tahun 1846 Masehi. Pada masa itu, ketika seni penulisan modern mulai berkembang, jadwal imsak pertama kali dicetak dalam media bernama Bulaq, yang kemudian dikenal sebagai Imsakiyah Wali An-Nu’man.
Jadwal ini dicetak di atas kertas berwarna kuning dengan ukuran 27 cm x 17 cm. Mirip dengan jadwal imsak yang banyak beredar di Indonesia saat ini, jadwal tersebut mencantumkan waktu salat dan jadwal puasa harian berdasarkan kalender Arab.
Di berbagai negara lain, waktu imsak tidak dianggap sebagai batasan untuk berhenti makan dan minum. Dalam sebuah tulisan yang dimuat oleh Pejabat Mufti Wilayah Persekutuan Malaysia, dijelaskan bahwa 10 menit sebelum subuh bukanlah waktu dimulainya puasa.
Dalam laman resmi mereka, dinyatakan bahwa selama waktu tersebut seseorang masih diperbolehkan untuk makan dan minum. Namun, ketika azan subuh dikumandangkan, barulah seseorang harus benar-benar menghentikan aktivitas makannya dan memulai puasa secara resmi.
Meskipun istilah imsak tidak ditemukan dalam praktik keislaman di negara-negara lain, tradisi ini tetap memiliki nilai positif bagi umat Muslim di Indonesia.
Dengan adanya imsak, masyarakat memiliki peringatan dini bahwa waktu subuh sudah dekat, sehingga mereka dapat lebih berhati-hati agar tidak sampai melewati batas waktu yang ditetapkan untuk memulai puasa.
Tradisi ini bukan sekadar kebiasaan, tetapi juga bentuk ikhtiyat atau kehati-hatian yang diwariskan secara turun-temurun demi menjaga kesempurnaan ibadah puasa.