KOROPAK.CO.ID – Banjir yang melanda sebagian besar wilayah Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi pada Selasa (4/3) bukanlah peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba. Tujuh kecamatan terdampak, termasuk Bekasi Timur, Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Medan Satria, Jatiasih, Pondok Gede, dan Rawalumbu.
Namun, di balik musibah ini, ada jejak sejarah panjang yang menunjukkan bahwa banjir di Bekasi telah menjadi bagian dari lanskap wilayah tersebut sejak zaman kolonial Belanda.
Sejarawan Surya Zainul Lutfi dalam jurnal Sejarah dan Budaya mengungkapkan bahwa banjir di Bekasi sudah tercatat sejak tahun 1924. Ketika itu, hujan deras menyebabkan jebolnya tanggul di sekitar Stasiun Bekasi hingga Tambun, menghambat jalur transportasi utama, termasuk kereta api.
Penumpang yang terjebak dalam perjalanan pun dibuat panik akibat terputusnya komunikasi. Dua tahun berselang, pada 1926, banjir kembali menghantam Bekasi.
Kali ini, Sungai Cigombong di Bogor meluap, menyebabkan akses jalan dari Karawang terputus. Sebanyak 100 rumah dan 10 hektare sawah terendam, meskipun air mulai surut pada hari berikutnya.
Tidak berhenti di situ, periode 1932–1934 mencatat Bekasi kembali dilanda banjir besar. Daerah yang paling terdampak tetap sama: Cikarang, Tambun, dan Lemah Abang. Seperti pola yang terus berulang, banjir disebabkan oleh curah hujan tinggi, kondisi tanah yang rendah, serta luapan sungai.
Baca: Perjalanan Sejarah Kota Bekasi: Dari Kolonialisme hingga Urbanisasi
Sayangnya, situasi semakin buruk akibat kurangnya pemeliharaan tanggul yang kala itu masih dikuasai oleh para tuan tanah. Pemerintah kolonial saat itu kesulitan melakukan perbaikan, karena kepemilikan tanggul berada di tangan tuan tanah yang enggan menjalankan kewajibannya.
Akibatnya, banjir yang terjadi tidak hanya menghambat aktivitas masyarakat, tetapi juga mengancam kehidupan mereka secara langsung. Dalam satu insiden tragis, seorang kondektur kereta barang dari Meester-Cornelis (sekarang Jatinegara) menjadi korban akibat tergelincirnya kereta yang melewati jalur Cikarang yang terendam banjir.
Rel yang tersapu air sejauh 700 meter dan ketinggian air mencapai satu setengah meter membuat perjalanan kereta menjadi mustahil. Banyak penumpang yang akhirnya membatalkan perjalanan mereka setelah mendengar kabar kecelakaan tersebut.
Banjir di Bekasi bukan lagi sekadar siklus lima tahunan, melainkan permasalahan yang terus berulang sejak hampir satu abad lalu. Krisis iklim dan urbanisasi yang pesat hanya menambah kompleksitas persoalan.
Dengan curah hujan yang semakin ekstrem, pengelolaan lingkungan yang belum optimal, serta meningkatnya jumlah permukiman di daerah rawan banjir, Bekasi tetap berada dalam ancaman yang sama seperti di era kolonial.
Sejarah ini menjadi pengingat bahwa solusi jangka panjang sangat dibutuhkan. Tanpa mitigasi yang tepat, banjir Bekasi tidak hanya akan terus terjadi, tetapi juga semakin parah di masa mendatang.