Muasal

Kisah Presiden Soekarno Tak Berpuasa di di Ramadan 1966

×

Kisah Presiden Soekarno Tak Berpuasa di di Ramadan 1966

Sebarkan artikel ini
Kisah Presiden Soekarno Tak Berpuasa di di Ramadan 1966
Doc. Foto: GNFI

KOROPAK.CO.ID – Puasa Ramadan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat Muslim sejak zaman Nabi Muhammad SAW.

Sebagai salah satu dari lima rukun Islam, kewajiban berpuasa di bulan suci Ramadan memiliki makna spiritual yang mendalam dan menjadi momen refleksi diri, pengendalian hawa nafsu, serta peningkatan ketakwaan kepada Allah SWT.

Sejarah mencatat bahwa tidak semua Muslim mampu menjalankan ibadah puasa karena berbagai kondisi, termasuk sakit atau keadaan darurat lainnya.

Salah satu peristiwa menarik yang terjadi dalam sejarah Indonesia adalah ketika Presiden Soekarno, bapak proklamator dan presiden pertama Indonesia, diketahui tidak menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadan tahun 1966.

Kabar ini pertama kali muncul dalam artikel berjudul “Sukarno Mengaku Ta’ Puasa Kerana Uzor” yang diterbitkan oleh surat kabar Berita Harian pada 16 Desember 1966. Dalam wawancara tersebut, Soekarno secara terbuka menjelaskan alasan mengapa dirinya tidak berpuasa di bulan Ramadan pada tahun tersebut.

Presiden Soekarno menyebutkan bahwa dirinya menderita penyakit ginjal (buah pinggang), yang membuatnya harus mengikuti anjuran dokter untuk mengonsumsi air putih dalam jumlah yang cukup agar kondisinya tidak semakin memburuk.

“Dokter menyuruh saya supaya jangan banyak minum karena saya sakit buah pinggang,” ujar Soekarno, seperti dikutip dari Berita Harian. “Maka dari itu saya tidak berpuasa,” tambahnya.

Keputusan Soekarno untuk tidak berpuasa pada saat itu didasarkan pada kondisi kesehatan yang memang tidak memungkinkan dirinya untuk menjalankan ibadah puasa. Dalam ajaran Islam, orang yang sakit memang diberi keringanan untuk tidak berpuasa, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 185:

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Dalam Islam, hukum terkait orang yang tidak berpuasa karena sakit memiliki ketentuan yang jelas. Berdasarkan pandangan para ulama, terdapat tiga kategori hukum bagi orang yang sakit terkait kewajiban berpuasa: wajib, sunnah, dan makruh.

Baca: Kembang Api Pernah Jadi Penanda Buka Puasa Ramadan 1950 di Indonesia

1. Wajib – Seseorang wajib membatalkan puasa jika penyakit yang dideritanya dapat semakin parah atau bahkan membahayakan nyawanya jika tetap berpuasa. Kondisi ini biasanya berlaku untuk penyakit kronis seperti diabetes, penyakit ginjal, atau kanker.

2. Sunnah – Seseorang disunnahkan untuk membatalkan puasa jika khawatir kondisinya akan memburuk. Misalnya, seseorang yang mengalami demam atau flu berat diperbolehkan untuk tidak berpuasa jika merasa kondisinya tidak memungkinkan untuk melanjutkan ibadah tersebut.

3. Makruh – Orang yang mengalami sakit ringan, seperti sakit kepala atau batuk, namun tetap mampu menahan diri untuk berpuasa, lebih baik untuk tetap melanjutkan puasa. Namun, jika membatalkan puasa dianggap lebih baik untuk kesehatannya, maka hal tersebut tidak berdosa.

Kendati mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa, seseorang yang batal menjalankan ibadah ini tetap diwajibkan untuk menggantinya di hari lain di luar bulan Ramadan. Terdapat dua cara yang bisa ditempuh:

1. Qadha’ (mengganti puasa di hari lain) – Jika kondisinya memungkinkan, orang yang tidak berpuasa diwajibkan untuk mengganti puasa yang batal di luar bulan Ramadan sebanyak jumlah hari yang ditinggalkan.

2. Membayar fidyah – Bagi orang yang menderita penyakit kronis atau memiliki kondisi yang tidak memungkinkan untuk berpuasa secara permanen, mereka dapat menggantinya dengan membayar fidyah. Fidyah dilakukan dengan memberikan makanan atau bantuan kepada orang miskin sebanyak satu kali makan untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.

Kisah Presiden Soekarno yang tidak berpuasa di bulan Ramadan tahun 1966 karena alasan kesehatan menjadi cerminan bahwa Islam adalah agama yang penuh kasih dan memberikan keringanan bagi umatnya yang mengalami kesulitan.

Kesehatan dan keselamatan umat menjadi prioritas dalam ajaran Islam, dan Allah SWT telah memberikan kemudahan bagi setiap Muslim untuk menjalankan ibadah sesuai dengan kemampuan mereka.

Peristiwa ini tidak hanya mencerminkan sisi kemanusiaan dari seorang pemimpin besar, tetapi juga mengingatkan umat Muslim bahwa ibadah dalam Islam selalu dilandasi oleh kebijaksanaan dan kasih sayang dari Sang Khalik. Sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Qur’an, Islam tidak pernah mempersulit umatnya dalam menjalankan kewajiban agama.

error: Content is protected !!