KOROPAK.CO.ID – Dalam sejarah media Indonesia, penyiar berita kerap diasosiasikan dengan wajah serius, nada datar, dan sikap netral. Namun pada 2025, sebuah nama muncul mengusik pakem itu: Valentinus Resa.
Sosok presenter Metro TV ini kini menjadi sorotan nasional setelah gaya penyampaiannya yang satir dan menggelitik ramai diperbincangkan, sekaligus menuai kontroversi.
Fenomena ini bukan terjadi dalam semalam. Gaya satir Resa sudah lama menghiasi layar kaca. Ia dikenal lihai menyelipkan kritik sosial di balik senyum tipis dan celetukan jenaka yang terlontar saat membawakan berita.
Ucapannya sering viral, terutama di media sosial seperti TikTok dan Instagram. Di ruang digital itu, generasi muda menyambutnya dengan antusias: mereka merasa terwakili, merasa tertawa dan berpikir di saat bersamaan.
Namun tidak semua menyambut gaya Resa dengan hangat. Baru-baru ini, sebuah somasi dari organisasi masyarakat bernama Perisai Kebenaran Nasional dilayangkan kepada dirinya.
Isinya mengecam narasi-narasi yang dianggap bukan bagian dari produk jurnalistik dan dinilai berpotensi “merusak generasi muda”. Somasi itu dilayangkan bukan hanya kepada Resa, tapi juga memberi peringatan kepada institusi media tempatnya bernaung.
Di dalam video somasi yang kini juga viral, sang orator menyebut bahwa Resa telah menafsirkan pernyataan Presiden Prabowo secara bebas dan menyimpang. Ia mengajak publik untuk mengawasi sosok presenter itu, menyebut bahwa tidak ada satu pun yang kebal hukum termasuk jurnalis.
Baca: Rosihan Anwar, Jurnalis, Seniman, dan Budayawan dalam Rentang Waktu
Lahir di Manado pada 1986, Valentinus Resa sebenarnya tumbuh besar di Jakarta. Masa kecil hingga remajanya dihabiskan di lingkungan pendidikan ibu kota: SD Melania III, SMP Kanisius, hingga SMAN 68 Salemba.
Ia berdarah campuran Jawa dan Ambon, dan sejak awal menunjukkan minat besar pada dunia tulis-menulis dan komunikasi. Bakat itu ia asah di kampus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, tempat ia memilih jurusan Jurnalistik.
Perjalanan kariernya tidak selalu mulus. Seusai lulus kuliah, Resa sempat melamar ke berbagai media, sebelum akhirnya bergabung dengan Metro TV pada 2011. Ia memulai dari bawah, menjadi staf riset untuk program Mata Najwa, lalu menjajal dunia penulisan sebagai copywriter di Medcom.id.
Barulah setelah beberapa tahun, ia tampil di depan kamera sebagai presenter. Yang membedakan Resa dari rekan-rekan seprofesinya adalah pilihan gayanya: komedi satir sebagai bentuk kritik. Dalam sejarah jurnalistik dunia, pendekatan ini bukan hal baru.
Dari The Onion di Amerika hingga Majalah Tempo era Orde Baru, satire kerap digunakan untuk menyampaikan kebenaran dalam selimut humor. Di sinilah Resa menemukan tempatnya: menjadi suara alternatif di tengah arus berita yang kerap seragam dan steril.
Tapi menjadi berbeda di ruang publik selalu berarti mengambil risiko. Kini, di tengah dukungan publik dan tekanan dari pihak tertentu, perjalanan Resa sebagai jurnalis satir memasuki babak baru.