KOROPAK.CO.ID – JAKARTA – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1993–1998, Wardiman Djojonegoro (91), memberi apresiasi atas inisiatif Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk menulis ulang sejarah nasional. Proyek ambisius ini dijadwalkan rampung pada 17 Agustus 2025, bertepatan dengan peringatan 80 tahun Kemerdekaan Indonesia.
Namun, Wardiman mengkritisi istilah “penulisan ulang sejarah” atau “revisi sejarah” yang digunakan dalam proyek tersebut. Menurutnya, istilah itu kurang tepat karena pemerintah tidak mengubah fakta sejarah, melainkan hanya menawarkan tafsir baru.
“Pak Menteri sendiri sudah bilang kejadiannya tetap sama, hanya mungkin tafsirnya yang lain,” ujar Wardiman seusai menjadi pembicara di acara bedah buku Trilogi Kartini, Universitas Ciputra Surabaya, Selasa (20/5/2024).
Wardiman menyarankan agar istilah itu diganti dengan “melengkapi sejarah,” untuk mencerminkan bahwa proyek ini bukan mengubah substansi, melainkan menambahkan sudut pandang dan kejadian kecil yang belum tercatat sebelumnya.
“Tentu saja peristiwa besar seperti Peristiwa Madiun 1948 tetap ada. Ini soal menambah, bukan mengubah,” kata dia.
Mengenai sepuluh jilid draft kerangka penulisan sejarah Indonesia yang beredar, Wardiman enggan berkomentar banyak, mengingat fokusnya sebagai sejarawan lebih pada naskah kuno ketimbang periodesasi sejarah modern.
Baca: Empat Sekolah Garuda Siap Beroperasi dengan Kurikulum IB di 2026
Draft tersebut meliputi sejarah awal Nusantara, hubungan dengan India, Cina, Timur Tengah, interaksi dengan Barat, periode penjajahan, pergerakan nasional, perjuangan kemerdekaan, masa bergolak, Orde Baru, hingga era Reformasi.
Sementara itu, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyatakan keberatan terhadap penggunaan istilah “sejarah resmi” dalam proyek pemerintah. Menurut anggota AKSI, Asvi Warman Adam, pemerintah Orde Baru pun pernah merilis sejarah resmi yang bertujuan membangun citra rezim dan menghilangkan fakta-fakta yang tidak menguntungkan.
“Ini sejarah resmi pandangan pemerintah terhadap suatu peristiwa, bukan sejarah yang lengkap,” kata Asvi usai rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR, Senin (19/5/2025).
Ketua AKSI, Marzuki Darusman, juga mengingatkan bahwa sejarah adalah hasil multitafsir dan dinamika rakyat, sehingga revisi yang disusun pemerintah berpotensi menghasilkan narasi tunggal yang bias dan selektif.
“Meski melibatkan ratusan sejarawan, sejarah ini bisa jadi alat legitimasi politik pemerintah,” ujarnya mengkhawatirkan target penyelesaian pada Agustus 2025.
Penulisan ulang sejarah nasional ini pun memicu perdebatan soal bagaimana sejarah Indonesia seharusnya didekati: sebagai fakta statis atau kisah yang hidup dengan berbagai tafsir.