Actadiurna

Penulisan Ulang Sejarah RI Menuai Kontroversi

×

Penulisan Ulang Sejarah RI Menuai Kontroversi

Sebarkan artikel ini
Penulisan Ulang Sejarah RI Menuai Kontroversi
Doc. Foto: Ilustrasi/BBC

KOROPAK.CO.ID – JAKARTA – Sejarah resmi, istilah yang kini ramai diperdebatkan menuai kontroversi dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas Kementerian Kebudayaan.

Anggota Komisi X DPR, Bonnie Triyana, menilai istilah tersebut tak tepat secara akademis dan dapat menimbulkan kesan “ilegal” bagi narasi sejarah alternatif di luar versi pemerintah.

Bonnie menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proyek yang didanai negara ini. Ia mendesak Kementerian Kebudayaan membuka ruang diskusi luas, tak hanya bagi sejarawan profesional, melainkan juga masyarakat umum, karena sejarah adalah milik publik yang mencerminkan pandangan kolektif terhadap masa lalu.

“Penulisan sejarah harus inklusif dan demokratis, diawali oleh pertemuan ilmiah terbuka, bukan keinginan sepihak,” ujarnya, Jumat (23/5/2025).

Ketua DPR Puan Maharani turut mengingatkan agar pemerintah menjaga integritas sejarah tanpa pengaburan, mengutip pesan legendaris Presiden Soekarno, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.”

“Pentingnya memaknai sejarah, termasuk bagian kelamnya, agar nilai-nilai nasional tetap hidup dan mengakar kuat di masyarakat,” tegas Puan.

Baca: Eks Mendikbud Wardiman Kritik Istilah “Revisi Sejarah” Pemerintah

Selain itu, musisi sekaligus anggota Komisi X, Once Mekel, menegaskan bahwa kemajuan bangsa terhambat oleh ketidakjujuran terhadap fakta sejarah.

Dalam rapat dengar pendapat bersama para akademisi dan sejarawan di Senayan (19/5/2025), Once menegaskan fakta harus diungkap apa adanya, meski berpotensi merugikan atau menguntungkan bangsa.

Proyek penulisan ulang ini bertujuan menyelaraskan narasi sejarah dengan temuan-temuan terbaru dari disertasi dan riset sejarawan, dengan target penyelesaian buku sejarah resmi sebanyak sepuluh jilid pada HUT ke-80 RI, 17 Agustus 2025. Draf Kerangka Konsep menyebut buku ini diharapkan meningkatkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

Namun, penolakan datang dari Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), gabungan sejarawan, pegiat HAM, dan aktivis, yang menduga proyek ini sebagai usaha pemerintah merekonstruksi sejarah demi kepentingan politik. Aliansi menilai inisiatif tersebut sebagai bentuk monopoli kebenaran dan kontrol pemikiran rakyat.

Debat ini mencerminkan dinamika kompleks penulisan sejarah Indonesia, antara kebutuhan akan narasi nasional yang kuat dan tuntutan keterbukaan serta pluralitas versi sejarah di tengah masyarakat.

error: Content is protected !!